KONSUMERISME
oleh
Iqbal Tawakal
Siapa yang berani
menyangkal pernyataan mengenai manusia adalah makhluk sosial yang terkungkung
dalam sistem aturan masyarakat atau zaman? Tentu jika ada yang mengambil sikap
tersebut, tampaknya ada sedikit masalah perihal kepribadian atau mungkin alam
bawah sadarnya sebagai manusia tengah terguncang. Sedikit sekali manusia yang
mampu melakukan kegiatan secara soliter. Makhluk komunal yang diikat oleh aturan
yang disepakati bersama. Barangkali kalimat itu mesti sesegera mungkin
disematkan pada manusia. Bukan hanya sebagai penanda, tetapi sebagai konsep
dasar manusia ketika bergerak, berpikir, bahkan diam sekalipun.
Maslow,
berasumsi bahwa manusia sejatinya merupakan makhluk yang baik, sehingga manusia
memiliki hak untuk merealisasikan jati dirinya agar mencapai self actualization. Manusia berupaya
memenuhi dan mengekspresikan potensi dan bakatnya yang kerap kali terhambat
oleh kondisi masyarakat yang menolaknya. Kondisi ini membuat seseorang
menyangkal keberadaan dirinya dan menghambat dirinya sendiri untuk mencapai real self nya. Keadaan semacam ini pula
yang dapat menyebabkan seseorang mengalami problem kejiwaan dan ketimpangan
perilaku (Minderop, 2011: 48-49).
Sebagai makhluk yang
tidak bisa lepas dari rekanan, manusia, dalam mengambil sikap mesti dihadapkan
pada liku pertimbangan. Banyak hal atau aspek yang mesti dipertimbangkan,
seperti sosial, budaya, hingga agama. Itu merupakan hal dasar yang sering
mengukung manusia dalam bertindak. Dalam berperilaku, manusia akan dan selalu
dihadapkan pada kenyataan mengenai masyarakat sebagai struktur aturan. Oleh
karena itu, pandangan baik menurut diri sendiri kadangkala berseberangan dengan
struktur aturan yang berlaku dalam masyarakat. Hal inilah yang membuat manusia
seringkali merasa kosong dan menganggap kebebasannya terbatas.
Struktur aturan yang
berlaku di masyarakat tentang baik dan buruk, sebetulnya memiliki nilai baik.
Bagaimanapun hal itu telah mampu menjaga dan mengubah kepribadian seseorang
sehingga mesti terus berada pada koridor yang telah ditetapkan. Pergerakan yang
masif dari dunia luar lingkungan masyarakat, seperti tindak kriminalitas,
kejahatan seksual, tingkat konsumerisme (konsumtif) tinggi, telah banyak
mengganggu ketenangan dan pikiran manusia. Berita tentang semakin banyaknya
manusia yang terjerembab ke dalam dunia luar dan asing, telah memberi pukulan
telak terhadap struktur aturan masyarakat tersebut. Bagaimana pergerakan dunia
luar dengan caranya selalu mampu menembus benteng pertahanan terakhir
masyarakat, yakni hukum moral di masyarakat.
Tingkat
konsumerisme manusia, semakin menuju pada tingkat kritis. Manusia menurut
Piliang (2003:150) di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan
citraan ketimbang nilai utilitas, logika yang mendasarinya bukan lagi logika
kebutuhan (need) melainkan logika
hasrat (desire). Bila kebutuhan
manusia telah digantikan dengan hasrat, maka hal-hal apapun yang berkaitan
dengan diri manusia itu tidak akan pernah habis. Ada rasa candu iri ketika
melihat objek di sekitarnya telah memiliki sesuatu hal yang belum pernah
dimiliki subjek. Karena anggapan bahwa mengikuti tren adalah berarti terbebas
dari konsep masyarakat tradisional yang kuno dan ketinggalan zaman. Seolah
menjadi modern adalah benar, sementara sikap yang dipertunjukan seperti itu
sebetulnya adalah sikap di luar modern.
Konsumsi dapat
dipandang sebagai objektivikasi, yaitu proses eksternalisasi dan internalisasi
diri lewat objek-objek sebagai medianya. Di sini terjadi proses menciptakan
nilai-nilai melalui objek-objek, dan kemudian memberikan pengakuan serta
menerima nilai-nilai tersebut. Dari sudut pandang linguistik, konsumsi dapat
dipandang sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-tanda yang
terkandung di dalam objek-objek oleh para konsumer, dalam rangka menandai
relasi-relasi sosial. Dalam hal ini, objek dapat menentukan status, prestise,
dan simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakainya (Piliang, 2003:144).
Manusia sebagai makhluk
berpikir, dikendalikan oleh keadaan yang akan sangat tidak mungkin untuk
dirinya bertahan pada kesendirian. Menolak hidup konsumtif, berarti tertinggal
oleh zaman. Menolak konsumtif berarti aktualisasi diri sebagai manusia menjadi
tertinggal. Konsep defamiliarisasi yang selama ini dijunjung oleh manusia
(pemikir) sebagai suatu pembelotan dari hakikat manusia, kini berbalik
menerjang manusia itu sendiri. Manusia yang berdiri pada jalur benar akan
dianggap salah karena semakin banyaknya kelompok yang berdiri di garis salah
tersebut. Berperilaku standar adalah salah di tengah masyarakat yang
mengidamkan sifat konsumerisme seperti sekarang. Konsumerisme dipandang sebagai
perilaku menyimpang, tetapi hingga kini masih terus saja dipertahankan. Memang
tidak ada aturan baku dalam mencegah perilaku tersebut, tetapi masyarakat,
biasanya akan memiliki aturan tersendiri dalam memandang perilaku tersebut.
Perilaku menyimpang
yang dilakukan sekelompok manusia ketika menjadi bagian dari dunia luar selalu membawa
banyak perubahan pada sistem aturan lama. Hal itu secara perlahan telah menanam
nilai-nilai untuk membentuk sebuah budaya baru yang lebih kacau dan gelap. Budaya
konsumtif bukan saja menyerang pada perilaku mengonsumsi sesuatu yang masih
bisa ditoleransi, tetapi sudah bergerak jauh ke hal yang tidak diinginkan. Dari
tradisional beralih ke modern lalu masuk era posmodern.
Meskipun pengatur
terbesar (lembaga hukum negara) dalam kehidupan sebuah kelompok telah
menyiapkan ruang bagi para penyimpang dengan sangat besar. Tetap saja sikap
manusia sebagai makhluk komunal, cepat ingin berubah, dan memiliki hasrat
tinggi selalu membawa diri mereka pada lumbung kepalsuan dalam hidup. Menjadi
manusia yang terbebas dari ragam aturan adalah keinginan luhur dari manusia
masa kini. Bahkan kebebasan dijadikan sebagai cita-cita dan nilai dasar bagi
mereka untuk bersegera bergerak dan bertindak menuju apapun. Meski pada
akhirnya, aturan tidak pernah bisa dihilangkan dan akan selalu melekat di
tempat apapun dan di manapun manusia hidup. Manusia adalah struktur aturan itu
sendiri. Mereka tidak akan pernah bisa terbebas dari aturan, walau dalam
kematian sekalipun.*
Ciasahan,
2014
0 komentar:
Posting Komentar