Keterasingan, Cinta, dan Pembebasan
Oleh : Tawakal M Iqbal
Kita hidup untuk sesuatu yang tidak kita ketahui
maknanya. Dan barangkali satu-satunya alasan untuk terus hidup adalah
karena kita sedang mencari makna hidup itu sendiri. Chairil pernah berujar
demikian dalam kegelisahannya soal hidup yang tengah mengukungnya. Bagaimanapun
hebatnya seorang Chairil di mata para pembaca, ia tetap saja seorang yang
selalu merasa sepi. Hidupnya seringkali dipenuhi kepedihan dan
ketidakbahagiaan. Tetapi, dalam keadaan yang sedemikian beratnya, ia tak pernah
lalai melahap bacaan. Chairil adalah seorang pengembara batin dan pemikir yang
gelisah. Separuh hidupnya, ia habiskan hanya untuk membaca dan menulis puisi.
Ada satu hal yang seringkali tidak kita pahami tentang hidup.
Apakah sesungguhnya yang sedang kita cari dalam hidup ini? Bahagia, ilmu, harta,
wanita, sorga, atau hidup itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
seringkali singgah sebentar lalu pergi, sebelum kemudian singgah lalu pergi lagi,
singgah pergi, singgah dan hingga akhirnya (barangkali) bersemayam sampai saat
ini di dalam pikiran orang-orang.
Kehidupan hanya berlangsung sekali dan begitu cepat. Bahkan
untuk mengulang pertemuan-pertemuan saja rasanya sulit. Manusia sebetulnya
sedang berada pada posisi terjepit. Di mana gairah kebebasan pikiran tengah
terkunci oleh sistem atau tatanan nilai yang berlaku di sekitar. Kadangkala
untuk menerobos hal tersebut memerlukan permenungan lama dan mental yang kuat.
Sebab, keterasingan (musuh abadi) tengah menanti, bagi mereka yang ingin mendobrak
hal-hal yang kaku yang bagi sebagian besar orang kekakuan itu adalah hal yang
aman agar tidak terhindar dari efek penolakan sebuah sistem. Dan keterasingan
sendiri adalah hadiah yang paling patut diterima bagi para pemikir yang
mendobrak kekakuan. Selain cemooh dan sindiran dari lingkungan sekitar tentunya.
Kadangkala kondisi sosial seringkali tidak berlaku adil
kepada para pemikir sejati. Meskipun buah dari pemikiran mereka, hingga kini,
manfaatnya telah digunakan oleh banyak orang. Tapi sedikit sekali yang tahu
bahkan mau menghargainya.
Sistem membuat para pemikir berada pada kondisi yang tidak
menguntungkan. Sehingga membentuk para pemikir di negara ini senantiasa
menyenangi kungkungan. Seolah imajinasi adalah kawan karib dari pengekangan.
Para pemikir justru seringkali mencapai puncak pemikirannya ketika berada dalam
tekanan. Barangkali berangkat dari sanalah jiwa pemikir tumbuh dalam tubuh
Chairil.
Semua orang yang mengikuti sejarah perkembangan sastra
Indonesia pasti tahu bahwa Chairil terlahir di tengah kondisi keluarga yang
sedang kacau. Kedua orang tuanya memilih berpisah ketika ia masih kecil. Lalu
di umurnya yang belum genap 20 tahun, ia diharuskan menerima kenyataan pahit
bahwa neneknya telah menyerah pada kematian.
Sebagian orang percaya bila jiwa kepenyairan Chairil pertama
kali muncul sejak neneknya wafat. Tetapi sebagian orang lagi percaya bahwa
Chairil sudah menulis puisi sejak berada di bangku sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Tetapi kebiasaan Chairil
yang seringkali membuang puisi (bila tidak memuaskan) membuat anggapan itu
menjadi sulit dibuktikan.
Kepulangan nenek kepada sang pencipta adalah hal yang paling memukul
baginya. Rasa cinta Chairil kepada neneknya menjadikannya seorang perenung. Kedukaan
dan permenungannya kentara sekali pada puisi “Nisan”.
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
1942
Chairil merenung, mencoba menerima keadaan namun tak kuasa
mengubah ruang kosong dalam hatinya. Barangakali yang ia tanyakan pada dirinya
adalah, “lalu untuk apa kita hidup sedemikian rupa, melakukan ini dan itu,
tetapi kematian sulit dihindarkan?”
Rasa cinta yang teramat, membuatnya menjadi manusia yang penuh
dengan pertanyaan. Akan tetapi, hanya sedikit sekali yang ia temukan
jawabannya. Chairil sadar, jawaban-jawaban tentang kehidupan tidak akan pernah
bisa ditemukan apabila ia sedang berada dalam posisi diam.
Ia seolah meyakini bahwa langit tidak pernah menurunkan
hujan, tetapi hujan yang membuatnya turun hingga sampai di bumi. Baginya alam
tidak akan pernah memberikan jawaban kepadanya, maka dari itu ia mesti bergerak
meninggalkan kungkungan. Memilih terasing, menjadi seorang pemikir. Menyerahkan
hidupnya pada satu dunia bernama puisi.
Upaya pembebasan diri dari sistem, ia cerminkan pada sebuah
puisi Aku yang keluar dari aturan-aturan lama yang mendayu. Puisi yang ia
ciptakan terasa padat dan bertenaga. Itu tentu saja tidak akan tercipta bila ia
tidak berupaya menyuarakan kebebasan. Bahwa kegigihan, sejatinya akan
memperpanjang nafas kita. Chairil memang sudah meninggal 65 tahun yang lalu,
tetapi nafasnya masih terasa hangat bila kita membaca “Aku” dalam keramaian
maupun kesendirian.
Kegigihan Chairil
inilah yang kini sulit sekali ditemukan pada diri manusia modern. Manusia di
zaman sekarang seolah bingung dengan kehidupannya sendiri. Mereka merasa tidak
ada yang perlu mereka lawan dan pertanyakan. Sebab musuh di zaman modern
seperti ini, bukan lagi berwujud besar atau kecil, tetapi berbentuk
bayang-bayang. Manusia modern belum bisa keluar dari sistem yang dikendalikan
oleh bayangan. Perjuangan-perjuangan menjadi tidak terasa. Penolakan-penolakan
seakan menjadi sesuatu yang sia-sia.
***
Bagi Chairil, menulis
tidak mesti menunggu imajinasi dan perasaan yang sedang baik. Ia tak percaya,
pada apa yang disebutnya sebagai “hukum wahyu” dalam proses kreatif. Bahwa
inspirasi akan tiba dengan sendirinya, hinggap dalam kepala penyair lalu minta
dituliskan. Pemahaman demikian oleh Chairil disebut dangkal dan picik, hanya
sekadar angin lalu saja. Pernyataannya di atas menandakan bahwa Chairil adalah
penyair sejati yang lebur dalam realitas kehidupan. *
2014
0 komentar:
Posting Komentar