Main Menu

Jumat, 11 Juli 2014

Tentang Keterasingan, Cinta, dan Pembebasan


Keterasingan, Cinta, dan Pembebasan
Oleh : Tawakal M Iqbal

Kita hidup untuk sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya. Dan barangkali satu-satunya alasan untuk terus hidup adalah karena kita sedang mencari makna hidup itu sendiri. Chairil pernah berujar demikian dalam kegelisahannya soal hidup yang tengah mengukungnya. Bagaimanapun hebatnya seorang Chairil di mata para pembaca, ia tetap saja seorang yang selalu merasa sepi. Hidupnya seringkali dipenuhi kepedihan dan ketidakbahagiaan. Tetapi, dalam keadaan yang sedemikian beratnya, ia tak pernah lalai melahap bacaan. Chairil adalah seorang pengembara batin dan pemikir yang gelisah. Separuh hidupnya, ia habiskan hanya untuk membaca dan menulis puisi. 

Ada satu hal yang seringkali tidak kita pahami tentang hidup. Apakah sesungguhnya yang sedang kita cari dalam hidup ini? Bahagia, ilmu, harta, wanita, sorga, atau hidup itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu seringkali singgah sebentar lalu pergi, sebelum kemudian singgah lalu pergi lagi, singgah pergi, singgah dan hingga akhirnya (barangkali) bersemayam sampai saat ini di dalam pikiran orang-orang.

Kehidupan hanya berlangsung sekali dan begitu cepat. Bahkan untuk mengulang pertemuan-pertemuan saja rasanya sulit. Manusia sebetulnya sedang berada pada posisi terjepit. Di mana gairah kebebasan pikiran tengah terkunci oleh sistem atau tatanan nilai yang berlaku di sekitar. Kadangkala untuk menerobos hal tersebut memerlukan permenungan lama dan mental yang kuat. Sebab, keterasingan (musuh abadi) tengah menanti, bagi mereka yang ingin mendobrak hal-hal yang kaku yang bagi sebagian besar orang kekakuan itu adalah hal yang aman agar tidak terhindar dari efek penolakan sebuah sistem. Dan keterasingan sendiri adalah hadiah yang paling patut diterima bagi para pemikir yang mendobrak kekakuan. Selain cemooh dan sindiran dari lingkungan sekitar tentunya.

Kadangkala kondisi sosial seringkali tidak berlaku adil kepada para pemikir sejati. Meskipun buah dari pemikiran mereka, hingga kini, manfaatnya telah digunakan oleh banyak orang. Tapi sedikit sekali yang tahu bahkan mau menghargainya.

Sistem membuat para pemikir berada pada kondisi yang tidak menguntungkan. Sehingga membentuk para pemikir di negara ini senantiasa menyenangi kungkungan. Seolah imajinasi adalah kawan karib dari pengekangan. Para pemikir justru seringkali mencapai puncak pemikirannya ketika berada dalam tekanan. Barangkali berangkat dari sanalah jiwa pemikir tumbuh dalam tubuh Chairil.

Semua orang yang mengikuti sejarah perkembangan sastra Indonesia pasti tahu bahwa Chairil terlahir di tengah kondisi keluarga yang sedang kacau. Kedua orang tuanya memilih berpisah ketika ia masih kecil. Lalu di umurnya yang belum genap 20 tahun, ia diharuskan menerima kenyataan pahit bahwa neneknya telah menyerah pada kematian.

Sebagian orang percaya bila jiwa kepenyairan Chairil pertama kali muncul sejak neneknya wafat. Tetapi sebagian orang lagi percaya bahwa Chairil sudah menulis puisi sejak berada di bangku sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Tetapi kebiasaan Chairil yang seringkali membuang puisi (bila tidak memuaskan) membuat anggapan itu menjadi sulit dibuktikan.


Kepulangan nenek kepada sang pencipta adalah hal yang paling memukul baginya. Rasa cinta Chairil kepada neneknya menjadikannya seorang perenung. Kedukaan dan permenungannya kentara sekali pada puisi “Nisan”.

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta

1942

Chairil merenung, mencoba menerima keadaan namun tak kuasa mengubah ruang kosong dalam hatinya. Barangakali yang ia tanyakan pada dirinya adalah, “lalu untuk apa kita hidup sedemikian rupa, melakukan ini dan itu, tetapi kematian sulit dihindarkan?”

Rasa cinta yang teramat, membuatnya menjadi manusia yang penuh dengan pertanyaan. Akan tetapi, hanya sedikit sekali yang ia temukan jawabannya. Chairil sadar, jawaban-jawaban tentang kehidupan tidak akan pernah bisa ditemukan apabila ia sedang berada dalam posisi diam.

Ia seolah meyakini bahwa langit tidak pernah menurunkan hujan, tetapi hujan yang membuatnya turun hingga sampai di bumi. Baginya alam tidak akan pernah memberikan jawaban kepadanya, maka dari itu ia mesti bergerak meninggalkan kungkungan. Memilih terasing, menjadi seorang pemikir. Menyerahkan hidupnya pada satu dunia bernama puisi.

Upaya pembebasan diri dari sistem, ia cerminkan pada sebuah puisi Aku yang keluar dari aturan-aturan lama yang mendayu. Puisi yang ia ciptakan terasa padat dan bertenaga. Itu tentu saja tidak akan tercipta bila ia tidak berupaya menyuarakan kebebasan. Bahwa kegigihan, sejatinya akan memperpanjang nafas kita. Chairil memang sudah meninggal 65 tahun yang lalu, tetapi nafasnya masih terasa hangat bila kita membaca “Aku” dalam keramaian maupun kesendirian.
Kegigihan Chairil inilah yang kini sulit sekali ditemukan pada diri manusia modern. Manusia di zaman sekarang seolah bingung dengan kehidupannya sendiri. Mereka merasa tidak ada yang perlu mereka lawan dan pertanyakan. Sebab musuh di zaman modern seperti ini, bukan lagi berwujud besar atau kecil, tetapi berbentuk bayang-bayang. Manusia modern belum bisa keluar dari sistem yang dikendalikan oleh bayangan. Perjuangan-perjuangan menjadi tidak terasa. Penolakan-penolakan seakan menjadi sesuatu yang sia-sia.
***
Bagi Chairil, menulis tidak mesti menunggu imajinasi dan perasaan yang sedang baik. Ia tak percaya, pada apa yang disebutnya sebagai “hukum wahyu” dalam proses kreatif. Bahwa inspirasi akan tiba dengan sendirinya, hinggap dalam kepala penyair lalu minta dituliskan. Pemahaman demikian oleh Chairil disebut dangkal dan picik, hanya sekadar angin lalu saja. Pernyataannya di atas menandakan bahwa Chairil adalah penyair sejati yang lebur dalam realitas kehidupan. *

2014

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.