Main Menu

Jumat, 18 Juli 2014

JALAN PULANG


Dimuat di Republika, 8 Desember 2013

JALAN PULANG
Oleh : Tawakal M. Iqbal

Malam hampir habis. Hujan perlahan datang membawa sekawanan kepak menuju cahaya lampu taman. Di depan masjid ada sekelompok orang berjalan dengan mata setengah tertutup. Tak tentu arah. Mereka sedang melakukan perjalanan ruang dan waktu. Aku ada dalam barisan itu. Di langit, bulan serupa angin, timbul dan menghilang. Hanya bintang, yang menemaniku minum hingga malam pertengahan. Mungkin juga larut. Aku tak tahu pasti mengenai waktu. Aku hanya berjalan tertatih dan begitu saja melangkah.
Awal mula aku masuk ke dalam dunia hitam, ketika aku ingin mendalami keimananku.  Aku masih muda ketika itu. Dan sulit sekali untuk mulai memahami keinginanku. Rasa ingin tahu tiba-tiba saja muncul selepas lulus dari SMA. Mungkin juga karena tak ada lagi beban, pikirku.
Setiap kali aku mabuk, aku selalu mengalami kejadian yang sama. Tentang percakapan, pertemuan dan apapun itu. Semuanya selalu sama. Tepat pukul 03.00 pagi, saat Yayn hendak pergi ke masjid dan aku pulang ke rumah.
“Baru pulang rupanya kau Min, habis berapa ?”
Aku selalu tersentak bila seseorang menanyakan itu. Aku bukan tukang mabuk. Aku hanya minum. Hanya itu, tidak lebih.
Tololnya lagi, aku selalu pulang lewat masjid bila sesudah minum terlalu banyak.
“Aku tak menghabiskan apapun.” Kataku agak kesal.
“Lalu alasan untuk perutmu yang semakin membesar apa Min?”
“Perutku dari dulu memang besar, apa kau sudah lupa Yan?”
“Oh iya, aku telah lupa akan dirimu itu. Habis yang aku tahu Pamin yang  dulu sih. Dia adalah seorang yang pandai akan banyak hal meskipun tentang bacaan Al Quran ia tak begitu. Dan kau tahu, kau tak pernah begini.”
Di bagian ini aku tahu pasti tentang apa yang akan terjadi.
Aku akan memandang kubah masjid dengan tenang. Anehnya hal ini pasti kulakukan bila terlibat percakapan yang tak diundang.
“Makanya aku jadi pangling melihat kau ada disini, apa kau mau sholat juga?”
Aku seperti terlilit tali waktu. Di mana hanya aku dan Yayan yang hampir pasti terlibat percakapan tentang ini. Bahkan aku hapal betul apa yang akan kami katakan selanjutnya. Di bagian ini Yayan pasti akan menyindir tentang kebiasaanku.
“Eh sebentar, hampir saja aku lupa. Mana mungkin Tuhan mengijinkan kau untuk sholat, kau kan seorang pemabuk.”
Aku bilang juga apa, aku telah hapal betul dialog percakapan ini.
“Kita sama-sama mahluknya, Yan.”
“Apa kau bilang, mana mungkin Tuhan mau menyamakan derjat kita. Aku tukang sholat dan engkau tukang mabuk, ma-buk!” Suaranya terdengar sedikit sengaja dibesarkan.
“Tapi.”
“Tak ada tapi, tempatmu di sana Min! Di tempat gelap dengan cahaya yang warna-warni dan berkelipan  itu.  Masjid ini adalah tempatku. Tempat orang-orang taat, yang takut akan siksa akhirat.”
Aku diam. Kepalaku terasa berat waktu itu. Aku tundukan kepala, pandanganku kunang-kunang. Rasanya ingin segera kutaruh di atas bantal empuk dari kapuk randu terbaik.
Angin subuh bergerak begitu pelan, bagai selimut yang terbentang di ujung musim penghujan.
“Sekarang kau mengerti Min?”
“Mungkin.” Aku berjalan seperti anjing penyakitan, dengan tiga kaki busuknya mencoba menaiki anak tangga. Aku menuju pintu yang terang itu. Menuju masjid tempatku dulu menumpang tidur, bila sehabis sekolah pulang terlalu larut.
“Eeee, mau kemana kau Min. Apa kau tidak dengar perkataanku tadi? Ini bukan tempatmu, tuhanmu adalah bir dan tempatnya bukan di sini!”  Ia mendorongku keluar dari Masjid. Gerakan Yayan dalam berbagai kejadian masih seperti itu. Kuat dan menjengkelkan.
“Ijinkan aku bertemu dengan tuhanmu sekali saja, aku mohon.” Aku memaksa masuk, dan terus berjalan. Sampailah aku pada ruangan yang tenang. Tempat Imam memimpin Shafnya dalam sholat. Yayan marah besar, disingkilkan sarung barunya lalu mengejar Aku.
“Hei , apa kau tidak mengerti juga? Ini bukan tempatmu dasar orang sesat. Ini tempat para penghuni surga. Kau telah membuat aku malu pada tuhanku, pergi!”
“Kau bilang aku sesat, seolah kau paling tahu tentang agama. Apakah kau tahu agama hah?”
Aku memang tidak taat, tapi aku tidak sesat. Aku hanya ingin menimati hidup, apa itu salah? Kehidupan bisa saja tidak akan berlangsung tiap waktu. Makanya aku agak sedikit melupakan agama. Tapi kehidupan tidak akan berarti tanpa agama. Aku selalu risau memikirkan hal ini.
“Apa  kau bercanda?”
“Tidak!” Aku mulai menatap matanya tajam.
“Hei orang sesat, dengar ini!”
Di bagian ini aku tidak mendengarkan dia bicara. Sudah cukup ia mengataiku dengan sebutan sesat. Akhirnya dengan sedikit terpaksa aku lekas berjalan mendekat ke tumpukan Al Quran.
“Hei apa kau dengar aku, hah?”
Memilih diam dari orang ini bukan pilihan yang baik. Di bagian ini dia merasa tinggi dengan segala yang dikethuinya soal agama.
“Aku ini orang beriman yang tahu akan agamaku sendiri. Agamaku bukan agama turunan. Karena aku tahu semua tentang agama maka aku yakin jika aku adalah benar!”
“Kalau begitu kau tidak tahu agama.” Aku meradang.
Di kejauhan Al Quran terlihat begitu mesra dengan cahaya lampu di kejuhan. Ia begitu lembut.
“Apa maksudmu berbicara seperti itu orang sesat. Kau meremehkan pengetahuanku. Aku tak akan  disini kalau tidak paham.” Yayan membenarkan pecinya yang sering kali turun karna sudah sempit. Peci itu tak pernah diganti sejak ia pulang dari haji.
“Aku rasa kau salah mengartikan agama. Dia bukan soal pengetahuan tetapi keyakinan!” Pandanganku masih tertuju pada Al Quran itu. Akhirnya aku mengambil salah satunya dari tumpukan yang tak keruan.
“Kau tahu apa Min, mencoba mengajari…  eeee lepaskan tangan kotormu dari benda suci itu. Ayo lepaskan!”
Dia merebut benda itu dari tanganku.
“Apa itu punyamu?”
“Bukan, ini kepunyaan orang-orang beriman.”
“Berarti itu punyaku juga.” Aku merbut kembali. Seperti kisah sebelumnya aku kemudian membuka beberapa halaman, lalu memandangnya.
“Sekali lagi aku katakan, kau orang sesat dan lepaskan benda suci itu!”
“Ini akan menjadi suci bila kita baca.”
“Ya kau benar, tapi bukan orang sepertimu yang diharapkan oleh tuhanku. Kau tak pernah bisa membaca benda itu,  tanganmu hanya pantas memgang botol-botol murahan!”
“Kau sudah jadi tuhan rupanya.”
“Apa kau bilang, dasar baji….. ya tuhan ampunilah sahabatkuku yang satu ini. Dia mengatakan aku sama sepertimu. Sungguh aku tak pernah berharap  punya kawan seperti ini, maafkan dia .” Yayan memandang kelangit-langit dengan wajah ketakutan. “Kau, jangan pernah bilang kalau aku adalah tuhan.”
“Tapi….. sudahlah, tak ada gunannya aku berbicara denganmu. Aku akan melihat ini saja. Sepertinya ini lebih berarti.” Aku agak sedikit meledek Yayan. Al Quran itu kupegang dengan dua jari tangan kiri.
“Dasar tak punya otak, pantang mengangkat benda itu dengan tangan kiri.”
“Oh, maaf.”
“Tuhan tak akan memaafkanmu!”
“Tahu dari mana?”
“Pengetahuanku lebih tinggi. Aku sudah berhaji. Aku lebih dari kamu dalam hal apapun.”
“Kalau begitu ajari aku agar sama denganmu.”
“Percuma!”
“Tak ada yang percuma, ayo!” Aku memainkan Al Quran seperti memainkan kertas buram. Itu sengaja kumainkan untuk memancing perhatian dia.
“Letakan benda itu, atau aku yang akan….”
“Benda ini terlihat konyol bila di tumpuk begitu!”
“Akan lebih hancur jika ada di tanganmu.”
“Ini lebih baik daripada dilumuri debu, dan dibiarkan menumpuk seperti bungkusan ikan. Aku akan membawanya untuk kuselami lebih dalam lagi.”
“Tak ada yang boleh membawanya. Selain orang yang sudah berhaji!”
“Lalu untuk apa?”
“Itu hanya untuk suci sepertiku.”
“Kalau begitu aku akan menyucikan diri dengan membacanya. Aku  janji akan mempelajarinya dan menjadikan diriku dekat dengan tuhan dan…”
“Tuhan tak akan sudi dekat denganmu!”
Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku seperti orang paling kotor yang pernah ada.
“Dia dekat dengan siapa saja yang mau bertobat.  Termasuk kita!” Aku menyanggah kesombongannya.
“Haha, aku tiap waktu menghadapnya. Aku tak perlu tak usah dibawa-bawa!
Ada tangan yang lebih pantas menyentuh benda ini daripada kau.” Dia merebut Al Quran dari tanganku. Beberapa halaman yang kupegang sobek. Aku mendapatkan sobekan itu.
“Ah dasar bodoh! Kitab ini jadi sobek gara-gara kamu.”
Aku tak tahu apakah Yayan benar-benar menyesali apa yang telah terjadi atau memang dia hanya ingin terlihat lebih benar.
“Lalu untukku, kapan?” Aku membentaknya kali ini. “Apakah mesti mati dahulu untuk bisa menyentuh dan membacanya seperti kebanyakaan orang? Tuhan maha pengasih, ia mengasihi siapa saja yang mau…” Aku meninggalkan tempat itu. Melangkah tepat di depan Yayan yang sedang tertunduk meratapi kecerobohannya.
“Kau tak pantas untuk ini Min, pergilah keasalmu!”
***
Matahari muncul sedanya. Angin meninggalkan debu dikaca-kaca rumah. Burung  berkicauan dengan nada sumbang. Masjid ini selalu lembab setiap kali aku minum sampai mabuk. Oleh air mata, ludah, arak, dan kesombongan.
“Ya, aku telah salah jalan.” Pikirku. Aku tak berani lagi menoleh ke arah bangunan itu. Dengan kepala tertunduk, aku mulai pergi. Tangan kiriku menjambak- menjambak rambut yang di serang gatal entah dari mana. “Bis mi la… ah apa ya aku tak bisa membacanya.” Sepanjang jalan pulang aku terus membaca sobekan itu.
Di kejauhan, Yayan masih mengutuki dirinya sendiri. Bebarapa kata yang tak seharusnya keluarpun ia paksakan terlontar. Ia begitu kasihan.
Kejadian ini pasti akan terjadi lagi esok di jam dan waktu yang sama. Itupun bila aku mabuk.*

2013

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.