Main Menu

Rabu, 17 September 2014

Menyuarakan Bunyi

Menyuarakan Bunyi
Oleh Iqbal Tawakal
Beberapa hari yang lalu ketika sedang membaca buku di taman kota, seseorang yang duduk di samping saya tiba-tiba berteriak pada pengendara sepeda motor yang lewat. “Pelan-pelan membunyikan gas motornya!” Pada kasus yang lain saya pernah mendengar seseorang berbicara di perpustakaan kepada rekannya. “Dilarang membunyikan suara ponsel!” Kasus lainnya pernah saya temukan di pelataran masjid kampung, ketika petugas jaga tiba-tiba bergegas mendekat lalu kemudian berbisik pada saya sesaat sebelum salat dimulai. “Jangan bersuara bentar lagi salat dimulai!” katanya.  Bunyi dan suara, keduanya menjadi seringkali kita temukan dalam praktik kesehariannya.
Barangkali sekilas tidak ada masalah dengan kasus di atas. Adik saya yang berumur 15 tahun beberapa kali bertanya mengenai pengertian bunyi dan suara. “Sebetulnya apa bedanya bunyi dan suara itu, kak?”
Di buku musik karangan Anjani “Apa Itu Musik?” yang saya temukan di perpustakaan milik teman, dijelaskan bahwa bunyi dan suara memiliki arti dan makna berbeda. Bunyi merupakan sesuatu yang kita dengar dan tertangkap oleh telinga tanpa disengaja. Bunyi yang dihasilkan oleh angin ketika bergesekkan dengan dahan pohon, misalnya. Atau bunyi riuh air terjun yang menghantam genangan air atau bebatuan di bawahnya. Sedangkan suara merupakan bunyi yang tercipta secara disengaja. Seperti bunyi dari gitar yang dihasilkan oleh pemusik melalui senar yang dipetiknya. Atau bunyi ketukan bambu yang dipukul menggunakan batu.
Bunyi bisa berubah menjadi suara apabila bunyi tersebut dihasilkan dengan secara sengaja. Seperti kita ketahui bunyi yang dihasilkan oleh suling merupakan suara yang disengaja. Jelas sekali, udara yang ditiupkan manusia ke lubang suling akan mencari jalan keluar. Ketika badan suling yang terdapat beberapa lubang sebagiannya ditutup, maka dengan seketika alunan yang begitu merdu akan muncul. Proses ini terjadi karena adanya tekanan udara yang terkumpul dalam ruang, kemudian mencari beberapa lubang untuk keluar. Hal tersebut merupakan bunyi yang disengaja.
Contoh lainnya dari bunyi yang diubah menjadi suara adalah bunyi air jatuh. Berbeda dengan air terjun yang jatuh dari ketinggian secara alami, air yang jatuh  dari genting misalnya. Ketika di bawahnya kita simpan panci atau ember sebagai alat penadah, lalu benda penadah tersebut kita goyangkan sedikit demi sedikit sehingga hantaman air menjadi tidak teratur, itu akan menghasilkan bunyi, itu layak kita sebut sebagai suara.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dijelaskan bahwa bunyi adalah n 1 sesuatu yang terdengar (didengar) atau ditangkap oleh telinga. 2 nada; laras (pada alat musik atau nyanyian dsb). 3 Ling kesan pada pusat saraf sebagai akibat getaran gendangan telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. 4 ucapan apa yang tertulis (surat, huruf, dsb).
Sedang suara adalah n 1 bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia (seperti pada waktu bercakap-cakap, menyanyi, tertawa, dan menangis) 2 bunyi binatang, alat perkakas, dsb. 3 ucapan (perkataan). 4 bunyi bahasa (bunyi ujar) 5 sesuatu yang dianggap sebagai perkataan (untuk melahirkan pikiran, perasaan, dsb) 6 ki pendapat 7 ki pernyataan 8 ki dukungan (dl pemilihan).

Tidak dijelaskan apakah bunyi dan suara dihasilkan secara sengaja atau tidak, tetapi ada beberapa yang dapat kita ambil secara garis besar dari artian KBBI tersebut. Contohnya pengertian yang menjelaskan bahwa suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia (bercakap-cakap). Ini jelas sekali, bahwa bunyi yang dihasilkan berawal dari proses kesengajaan. Tetapi apa yang dibahas di awal mengenai bunyi sebagai sesuatu yang dihasilkan tanpa disengaja, tidak sejalan dengan apa yang tercantum dalam KBBI. Penjelasan bahwa bunyi adalah 1 sesuatu yang terdengar (didengar) atau ditangkap oleh telinga. 2 nada; laras (pada alat musik atau nyanyian dsb) tidak menggambarkan bahwa bunyi dihasilkan secara tidak sengaja.


Ada (didengar) dan alat musik di sana yang menjadi lawan dari pengertian bunyi sebagai sesuatu yang dhasilkan tanpa disengaja. Meskipun dalam KBBI dijelaskan bahwa bunyi dan suara masih memiliki kedekatan dari segi makna dan penggunaannya. Hal tersebut sebaiknya menjadi perhatian khusus, sebab bunyi dan suara sejatinya memiliki tingkatan yang berbeda. Dan tidak mungkin akan sama.*

Konsumerisme

KONSUMERISME
oleh Iqbal Tawakal

Siapa yang berani menyangkal pernyataan mengenai manusia adalah makhluk sosial yang terkungkung dalam sistem aturan masyarakat atau zaman? Tentu jika ada yang mengambil sikap tersebut, tampaknya ada sedikit masalah perihal kepribadian atau mungkin alam bawah sadarnya sebagai manusia tengah terguncang. Sedikit sekali manusia yang mampu melakukan kegiatan secara soliter. Makhluk komunal yang diikat oleh aturan yang disepakati bersama. Barangkali kalimat itu mesti sesegera mungkin disematkan pada manusia. Bukan hanya sebagai penanda, tetapi sebagai konsep dasar manusia ketika bergerak, berpikir, bahkan diam sekalipun.
Maslow, berasumsi bahwa manusia sejatinya merupakan makhluk yang baik, sehingga manusia memiliki hak untuk merealisasikan jati dirinya agar mencapai self actualization. Manusia berupaya memenuhi dan mengekspresikan potensi dan bakatnya yang kerap kali terhambat oleh kondisi masyarakat yang menolaknya. Kondisi ini membuat seseorang menyangkal keberadaan dirinya dan menghambat dirinya sendiri untuk mencapai real self nya. Keadaan semacam ini pula yang dapat menyebabkan seseorang mengalami problem kejiwaan dan ketimpangan perilaku (Minderop, 2011: 48-49).
Sebagai makhluk yang tidak bisa lepas dari rekanan, manusia, dalam mengambil sikap mesti dihadapkan pada liku pertimbangan. Banyak hal atau aspek yang mesti dipertimbangkan, seperti sosial, budaya, hingga agama. Itu merupakan hal dasar yang sering mengukung manusia dalam bertindak. Dalam berperilaku, manusia akan dan selalu dihadapkan pada kenyataan mengenai masyarakat sebagai struktur aturan. Oleh karena itu, pandangan baik menurut diri sendiri kadangkala berseberangan dengan struktur aturan yang berlaku dalam masyarakat. Hal inilah yang membuat manusia seringkali merasa kosong dan menganggap kebebasannya terbatas.
Struktur aturan yang berlaku di masyarakat tentang baik dan buruk, sebetulnya memiliki nilai baik. Bagaimanapun hal itu telah mampu menjaga dan mengubah kepribadian seseorang sehingga mesti terus berada pada koridor yang telah ditetapkan. Pergerakan yang masif dari dunia luar lingkungan masyarakat, seperti tindak kriminalitas, kejahatan seksual, tingkat konsumerisme (konsumtif) tinggi, telah banyak mengganggu ketenangan dan pikiran manusia. Berita tentang semakin banyaknya manusia yang terjerembab ke dalam dunia luar dan asing, telah memberi pukulan telak terhadap struktur aturan masyarakat tersebut. Bagaimana pergerakan dunia luar dengan caranya selalu mampu menembus benteng pertahanan terakhir masyarakat, yakni hukum moral di masyarakat.
Tingkat konsumerisme manusia, semakin menuju pada tingkat kritis. Manusia menurut Piliang (2003:150) di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan ketimbang nilai utilitas, logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat (desire). Bila kebutuhan manusia telah digantikan dengan hasrat, maka hal-hal apapun yang berkaitan dengan diri manusia itu tidak akan pernah habis. Ada rasa candu iri ketika melihat objek di sekitarnya telah memiliki sesuatu hal yang belum pernah dimiliki subjek. Karena anggapan bahwa mengikuti tren adalah berarti terbebas dari konsep masyarakat tradisional yang kuno dan ketinggalan zaman. Seolah menjadi modern adalah benar, sementara sikap yang dipertunjukan seperti itu sebetulnya adalah sikap di luar modern.
Konsumsi dapat dipandang sebagai objektivikasi, yaitu proses eksternalisasi dan internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya. Di sini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek, dan kemudian memberikan pengakuan serta menerima nilai-nilai tersebut. Dari sudut pandang linguistik, konsumsi dapat dipandang sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek oleh para konsumer, dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Dalam hal ini, objek dapat menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakainya (Piliang, 2003:144).
Manusia sebagai makhluk berpikir, dikendalikan oleh keadaan yang akan sangat tidak mungkin untuk dirinya bertahan pada kesendirian. Menolak hidup konsumtif, berarti tertinggal oleh zaman. Menolak konsumtif berarti aktualisasi diri sebagai manusia menjadi tertinggal. Konsep defamiliarisasi yang selama ini dijunjung oleh manusia (pemikir) sebagai suatu pembelotan dari hakikat manusia, kini berbalik menerjang manusia itu sendiri. Manusia yang berdiri pada jalur benar akan dianggap salah karena semakin banyaknya kelompok yang berdiri di garis salah tersebut. Berperilaku standar adalah salah di tengah masyarakat yang mengidamkan sifat konsumerisme seperti sekarang. Konsumerisme dipandang sebagai perilaku menyimpang, tetapi hingga kini masih terus saja dipertahankan. Memang tidak ada aturan baku dalam mencegah perilaku tersebut, tetapi masyarakat, biasanya akan memiliki aturan tersendiri dalam memandang perilaku tersebut.
Perilaku menyimpang yang dilakukan sekelompok manusia ketika menjadi bagian dari dunia luar selalu membawa banyak perubahan pada sistem aturan lama. Hal itu secara perlahan telah menanam nilai-nilai untuk membentuk sebuah budaya baru yang lebih kacau dan gelap. Budaya konsumtif bukan saja menyerang pada perilaku mengonsumsi sesuatu yang masih bisa ditoleransi, tetapi sudah bergerak jauh ke hal yang tidak diinginkan. Dari tradisional beralih ke modern lalu masuk era posmodern.
Meskipun pengatur terbesar (lembaga hukum negara) dalam kehidupan sebuah kelompok telah menyiapkan ruang bagi para penyimpang dengan sangat besar. Tetap saja sikap manusia sebagai makhluk komunal, cepat ingin berubah, dan memiliki hasrat tinggi selalu membawa diri mereka pada lumbung kepalsuan dalam hidup. Menjadi manusia yang terbebas dari ragam aturan adalah keinginan luhur dari manusia masa kini. Bahkan kebebasan dijadikan sebagai cita-cita dan nilai dasar bagi mereka untuk bersegera bergerak dan bertindak menuju apapun. Meski pada akhirnya, aturan tidak pernah bisa dihilangkan dan akan selalu melekat di tempat apapun dan di manapun manusia hidup. Manusia adalah struktur aturan itu sendiri. Mereka tidak akan pernah bisa terbebas dari aturan, walau dalam kematian sekalipun.*

Ciasahan, 2014


Diberdayakan oleh Blogger.