Promosi Sastra dan
Masyarakat yang Sinetron
oleh : Tawakal M.
Iqbal
Sebuah karya sastra bisa membawa kita pada lumbung
keniscayaan. Keniscayaan tersebut menjadi awal pengantar kita pada dunia yang
berbeda. Penuh keberpikiran, nurani, dan pengasihan. Karya sastra tercipta
bukan karena kesemena-menaan para pemikir. Ia hadir begitu saja bersamaan
dengan kekacauan yang tengah bergejolak dalam batin manusia. Segala ihwal yang
terjadi dalam diri manusia, kemarin, kini, dan esok, biasanya sukar terobati.
Tetapi hal demikian, bisa disiasati dengan menempuh obat mujarab, yaitu membaca
sastra. Sastra bukanlah tulisan indah yang terangkai dalam catatan-catatan,
selebaran di jalan, buku-buku yang dijual di toko, atau status di media sosial.
Karya sastra yang sejati, ia, sebenarnya berasal dari gemericik air purbani,
mengalir dalam hati manusia, yang bentuknya bisa kita lihat pada sikap manusia sesaat
ketika hidup atau menuju kematian.
Seutuhnya, karya sastra tidaklah membikin waktu habis
terbuang, justru ada banyak kebaikan yang dipersembahkan, namun sayangnya,
hanya sedikit yang meyakini itu. Di era kekinian misalnya, sulit sekali untuk mampu
menempatkan karya sastra pada kondisi yang nyaman, dan keberterimaan manusia. Alih-alih
mendapatkan itu semua, justru gerakan penolakan muncul, dalam berbagai gejolak
hati manusia. Penolakan yang terjadi terhadap karya sastra bukan karena rumit
atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mengganggu kedudukan seseorang. Melainkan,
karena munculnya anggapan, bila karya sastra identik dengan sikap lebay atau gombal. Dua sikap yang
sebenarnya jauh sekali dari sifat sastra yang sebenarnya. Dan karena hal inilah
karya sastra menjadi jauh bahkan bias dalam pandangan manusia di era kekinian.
Di era Shakespare misalnya, hubungan sastra dan manusia (masyarakat)
bisa dikatakan tidak berjarak. Masyarakat awam menikmati sastra sebagaimana
mereka adalah seorang sastrawan. Sekarang, seperti yang diungkap John Barr (Denny,
2012:68) menurutnya, puisi (karya sastra) semakin sulit dipahami publik.
Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama
puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Para
penyair asyik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merspon penyair
lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan
khalayak luas. Dalam bahasanya John Barr mengatakan: “poetry is nearly absent from public life, and poets too often write
with only other poets in mind, failling to write for a greater public”.
Tentunya, hal tersebut akan terasa sangat sulit dilakukan di era
reformis, seperti sekarang.
Evolusi dan Variasi
Kreativitas tinggi, konsep aduhai, penuh dengan nilai
kebersejarahan, serta penggunaan bahasa yang ciamik adalah ciri lain dari karya sastra kekinian. Tetapi, ciri
tersebut seakan menemukan kesulitan, untuk mengungkap manusia yang seutuhnya.
Manusia sekarang, adalah penyuka aksesbilitas yang serba cepat, dan malas
mengeluskan tangannya pada lembaran-lembaran kertas. Dan sayangnya, kasus
tersebut semakin saja meningkat. Ini akan menjadikan sastra berada pada kondisi
mengkhawatirkan bila karya sastra terus-terusan berfokus pada sebuah buku atau
koran. Disinyalir karya sastra tidak akan mampu bertahan dari pengaruh kebebasan
media (televisi), laju globalisasi, dan percepatan tekhnologi. Sebab pengaruh
tersebut senyatanya mampu membuat karya sastra semakin terpinggirkan, dan
alahasil hanya mendiami sisi kedua dari kehidupan manusia.
Seperti yang menjadi bahan omongan di banyak pertemuan, buku
ketika dulu adalah primadona bagi kesuksesan sebuah manusia dan zamannya. Sebut
saja Tan Malaka, M. Hatta, dan Pramoedya Anantatoer. Kecintaan mereka terhadap
buku, menjadikan mereka sosok bersahaja yang intelektuil dan paham ihwal
hakikat manusia itu sendiri. Tetapi, akan lebih baik lagi, bila sekarang
sebaiknya kita mulai membiasakan diri agar tidak berangan-angan, untuk hidup di
zaman mereka. Dua hal paling mustahil dalam kehidupan, kembali ke masa lalu dan
masa depan. Manusia kini, berada pada ambang ketidakserasian. Euforia media
pertelevisian adalah soal utama dalam masalah ini. Karya sastra sejatinya
adalah kendali, untuk mengembalikan hakikat manusia pada keutuhannya. Tetapi
bagaimana mengatasi perilaku manusia yang telah gandrung terhadap siaran-siaran
televisi? Sulit untuk menjawab hal itu.
Bila karya sastra masih menginginkan bertahan pada bentuk
utuhnya (buku). Dibutuhkan karya sastra yang luwes, untuk mengatasi segala soal.
Misal, cara paling konkret adalah menyisipkan karya sastra pada tayangan sinema
elektronik yang telah berjalan. Tetapi, tentu saja hal itu tidak mudah. Selain posisi
dan nilai sastra di masyarakat akan menjadi terlalu biasa. Hal lainnya adalah manusia
yang berada di balik kendali media tersebut, terlebih dahulu mesti paham, bahwa
kebaikan masa depan manusia, kini ada pada kendalinya. Dan satu hal lainnya
yang mesti dipahami, manusia Indonesia adalah manusia latah, bila sekali saja
salah, maka ada beribu manusia berjalan menuju kesalahan.
Agaknya tidak berlebihan, bila kita menyebut manusia
Indonesia adalah manusia sinetron. Mengapa?
Begini, pandangan dan sikap adalah kedua hal paling pas untuk
mencerminkan apa yang bergejolak dalam batin setiap manusia. Maraknya tayangan
yang jauh dari kata ‘berkualitas’, menjadikan manusia Indonesia menganut
pragmatisme. Memang, adalah hak setiap manusia untuk menempa dirinya pada
pilihan-pilihan yang ada. Tetapi, sejatinya, bukanlah itu hakikat dari
penciptaan manusia. Manusia dibentuk sedemikian canggih, untuk mampu berpikir
ihwal keadaan sekitar. Bukan berpikir tentang kepentingan yang sifatnya pribadi
(oportunis). Tentu saja itu adalah hak setiap manusia. Tetapi, menilik pada
citra manusia sebagai mahluk sosial, hal tersebut mudah saja ditepis. Oportunis
dan hal-hal semacamnya yang kurang baik, bukanlah tujuan dari hakikat manusia
sebenarnya.
Dalam sebuah proses yang dialami manusia Indonesia ketika
menjalankan tangkup roda kehidupan, dapat dilihat, hampir semua elemen berjalan
seadanya. Kosong dan penuh kepengapan. Berputar dan mengarah pada satu tujuan,
yakni ketetapan, keterkungkungan, lalu mengarah pada kematian.
Sejatinya, apa yang telah tertanam dalam batin manusia Indonesia
adalah keberpasrahan. Laiknya sebuah sinetron yang ratap, bahagia, disakiti,
memaafkan, dan menyesal, dan begitu seterusnya. Atau yang lebih ekstrim lagi,
membanggakan kekayaan untuk menindas lawan mainnya. Memang, adegan tersebut,
kini mudah didapat dalam kehidupan nyata. Di berbagai tempat, dan waktu, sinetron-sinetron
telah banyak bergulir, tergelar dengan sendirinya tanpa rekaan.
Sikap serupa di atas, perlahan, mudah saja sirna atau dapat
segera dilupakan. Asalkan dalam sinetron yang tayang, ada terkandung
nilai-nilai sastra. Agar menjadikan timbangan nurani manusia berangsur seimbang.
Bukan sekedar romantika percintaan si kaya dan miskin saja yang mendiami sudut
terpenting pada jiwa manusia. Agaknya sudah terlalu lama, manusia Indonesia terbuai
oleh angan-angan sedemikian rupa lewat tayangan tak wajar. Hasilnya? Pergaulan anak
remaja yang sukar dikendalikan.
Di era 2009-an, seantero negeri geger sesaat ketika novel Ayat-ayat Cinta difilmkan di layar lebar
(bioskop), disusul setelahnya film Perempuan
Berkalung Surban, Laskar Pelangi, dan kisah paling menguras nurani Emak Ingin Naik Haji mulai tayang. Di
era 2011an, Perahu Kertas, Madre, Negeri
5 Menara, Habibie Ainun, dan Sang
Penari satu persatu mulai mengisi layar lebar. Tentunya masih banyak lagi
yang muncul. Tetapi, apakah itu semua sudah cukup menyentuh nurani manusia
Indonesia? Jawabannya, belum.
Bukan rahasia lagi, kondisi perekonomian bangsa Indonesia
lebih banyak didominasi oleh golongan menengah ke bawah, dengan pendapatan
rata-rata sesuai atau bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Pilihan
menyisihkan sedikit dari hasil pendapatan untuk menonton film di bioskop agaknya
bukan sesuatu yang tepat. Ditambah lagi, naiknya harga bahan bakar, memicu naiknya
berbagai harga di negara ini. Tentunya, melihat dari kasus tersebut, pilihan
menyebarluaskan karya sastra melalui film layar lebar, menjadi langkah kurang
bijak. Lalu bagaimana dengan pementasan teater? Ah, tentunya, itu juga belum
cukup mampu mengatasi masalah yang tengah dialami. Teater tidak setiap waktu
mementaskan lakonnya, juga untuk menyaksikannya, membutuhkan uang yang cukup
menguras kantong.
Sebuah evolusi atau variasi penyebarluasan merupakan pencerah
ditengah sekelumit kisah mengenai hubungan sastra dan manusia. Evolusi dalam
hal variasi promosi sebuah karya menjadi
sangat perlu dan sinetron adalah media paling pas dalam hal ini. Selain mudah
dijangkau, sinetron pun mampu tayang setiap hari, juga dalam waktu yang pasti.
Meskipun dalam pelaksanaannya akan diketemukan aral melintang, terutama menyoal
biaya.[]
2013