Main Menu

Jumat, 18 Juli 2014

Promosi Sastra dan Masyarakat yang Sinetron



Promosi Sastra dan Masyarakat yang Sinetron
oleh : Tawakal M. Iqbal
Sebuah karya sastra bisa membawa kita pada lumbung keniscayaan. Keniscayaan tersebut menjadi awal pengantar kita pada dunia yang berbeda. Penuh keberpikiran, nurani, dan pengasihan. Karya sastra tercipta bukan karena kesemena-menaan para pemikir. Ia hadir begitu saja bersamaan dengan kekacauan yang tengah bergejolak dalam batin manusia. Segala ihwal yang terjadi dalam diri manusia, kemarin, kini, dan esok, biasanya sukar terobati. Tetapi hal demikian, bisa disiasati dengan menempuh obat mujarab, yaitu membaca sastra. Sastra bukanlah tulisan indah yang terangkai dalam catatan-catatan, selebaran di jalan, buku-buku yang dijual di toko, atau status di media sosial. Karya sastra yang sejati, ia, sebenarnya berasal dari gemericik air purbani, mengalir dalam hati manusia, yang bentuknya bisa kita lihat pada sikap manusia sesaat ketika hidup atau menuju kematian.
Seutuhnya, karya sastra tidaklah membikin waktu habis terbuang, justru ada banyak kebaikan yang dipersembahkan, namun sayangnya, hanya sedikit yang meyakini itu. Di era kekinian misalnya, sulit sekali untuk mampu menempatkan karya sastra pada kondisi yang nyaman, dan keberterimaan manusia. Alih-alih mendapatkan itu semua, justru gerakan penolakan muncul, dalam berbagai gejolak hati manusia. Penolakan yang terjadi terhadap karya sastra bukan karena rumit atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mengganggu kedudukan seseorang. Melainkan, karena munculnya anggapan, bila karya sastra identik dengan sikap lebay atau gombal. Dua sikap yang sebenarnya jauh sekali dari sifat sastra yang sebenarnya. Dan karena hal inilah karya sastra menjadi jauh bahkan bias dalam pandangan manusia di era kekinian.
Di era Shakespare misalnya, hubungan sastra dan manusia (masyarakat) bisa dikatakan tidak berjarak. Masyarakat awam menikmati sastra sebagaimana mereka adalah seorang sastrawan. Sekarang, seperti yang diungkap John Barr (Denny, 2012:68) menurutnya, puisi (karya sastra) semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Para penyair asyik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merspon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Dalam bahasanya John Barr mengatakan: “poetry is nearly absent from public life, and poets too often write with only other poets in mind, failling to write for a greater public”.
Tentunya, hal tersebut akan terasa sangat sulit dilakukan di era reformis, seperti sekarang.
Evolusi dan Variasi
Kreativitas tinggi, konsep aduhai, penuh dengan nilai kebersejarahan, serta penggunaan bahasa yang ciamik adalah ciri lain dari karya sastra kekinian. Tetapi, ciri tersebut seakan menemukan kesulitan, untuk mengungkap manusia yang seutuhnya. Manusia sekarang, adalah penyuka aksesbilitas yang serba cepat, dan malas mengeluskan tangannya pada lembaran-lembaran kertas. Dan sayangnya, kasus tersebut semakin saja meningkat. Ini akan menjadikan sastra berada pada kondisi mengkhawatirkan bila karya sastra terus-terusan berfokus pada sebuah buku atau koran. Disinyalir karya sastra tidak akan mampu bertahan dari pengaruh kebebasan media (televisi), laju globalisasi, dan percepatan tekhnologi. Sebab pengaruh tersebut senyatanya mampu membuat karya sastra semakin terpinggirkan, dan alahasil hanya mendiami sisi kedua dari kehidupan manusia.
Seperti yang menjadi bahan omongan di banyak pertemuan, buku ketika dulu adalah primadona bagi kesuksesan sebuah manusia dan zamannya. Sebut saja Tan Malaka, M. Hatta, dan Pramoedya Anantatoer. Kecintaan mereka terhadap buku, menjadikan mereka sosok bersahaja yang intelektuil dan paham ihwal hakikat manusia itu sendiri. Tetapi, akan lebih baik lagi, bila sekarang sebaiknya kita mulai membiasakan diri agar tidak berangan-angan, untuk hidup di zaman mereka. Dua hal paling mustahil dalam kehidupan, kembali ke masa lalu dan masa depan. Manusia kini, berada pada ambang ketidakserasian. Euforia media pertelevisian adalah soal utama dalam masalah ini. Karya sastra sejatinya adalah kendali, untuk mengembalikan hakikat manusia pada keutuhannya. Tetapi bagaimana mengatasi perilaku manusia yang telah gandrung terhadap siaran-siaran televisi? Sulit untuk menjawab hal itu.
Bila karya sastra masih menginginkan bertahan pada bentuk utuhnya (buku). Dibutuhkan karya sastra yang luwes, untuk mengatasi segala soal. Misal, cara paling konkret adalah menyisipkan karya sastra pada tayangan sinema elektronik yang telah berjalan. Tetapi, tentu saja hal itu tidak mudah. Selain posisi dan nilai sastra di masyarakat akan menjadi terlalu biasa. Hal lainnya adalah manusia yang berada di balik kendali media tersebut, terlebih dahulu mesti paham, bahwa kebaikan masa depan manusia, kini ada pada kendalinya. Dan satu hal lainnya yang mesti dipahami, manusia Indonesia adalah manusia latah, bila sekali saja salah, maka ada beribu manusia berjalan menuju kesalahan.
Agaknya tidak berlebihan, bila kita menyebut manusia Indonesia adalah manusia sinetron. Mengapa?
Begini, pandangan dan sikap adalah kedua hal paling pas untuk mencerminkan apa yang bergejolak dalam batin setiap manusia. Maraknya tayangan yang jauh dari kata ‘berkualitas’, menjadikan manusia Indonesia menganut pragmatisme. Memang, adalah hak setiap manusia untuk menempa dirinya pada pilihan-pilihan yang ada. Tetapi, sejatinya, bukanlah itu hakikat dari penciptaan manusia. Manusia dibentuk sedemikian canggih, untuk mampu berpikir ihwal keadaan sekitar. Bukan berpikir tentang kepentingan yang sifatnya pribadi (oportunis). Tentu saja itu adalah hak setiap manusia. Tetapi, menilik pada citra manusia sebagai mahluk sosial, hal tersebut mudah saja ditepis. Oportunis dan hal-hal semacamnya yang kurang baik, bukanlah tujuan dari hakikat manusia sebenarnya.
Dalam sebuah proses yang dialami manusia Indonesia ketika menjalankan tangkup roda kehidupan, dapat dilihat, hampir semua elemen berjalan seadanya. Kosong dan penuh kepengapan. Berputar dan mengarah pada satu tujuan, yakni ketetapan, keterkungkungan, lalu mengarah pada kematian.
Sejatinya, apa yang telah tertanam dalam batin manusia Indonesia adalah keberpasrahan. Laiknya sebuah sinetron yang ratap, bahagia, disakiti, memaafkan, dan menyesal, dan begitu seterusnya. Atau yang lebih ekstrim lagi, membanggakan kekayaan untuk menindas lawan mainnya. Memang, adegan tersebut, kini mudah didapat dalam kehidupan nyata. Di berbagai tempat, dan waktu, sinetron-sinetron telah banyak bergulir, tergelar dengan sendirinya tanpa rekaan.        
Sikap serupa di atas, perlahan, mudah saja sirna atau dapat segera dilupakan. Asalkan dalam sinetron yang tayang, ada terkandung nilai-nilai sastra. Agar menjadikan timbangan nurani manusia berangsur seimbang. Bukan sekedar romantika percintaan si kaya dan miskin saja yang mendiami sudut terpenting pada jiwa manusia. Agaknya sudah terlalu lama, manusia Indonesia terbuai oleh angan-angan sedemikian rupa lewat tayangan tak wajar. Hasilnya? Pergaulan anak remaja yang sukar dikendalikan.
Di era 2009-an, seantero negeri geger sesaat ketika novel Ayat-ayat Cinta difilmkan di layar lebar (bioskop), disusul setelahnya film Perempuan Berkalung Surban, Laskar Pelangi, dan kisah paling menguras nurani Emak Ingin Naik Haji mulai tayang. Di era 2011an, Perahu Kertas, Madre, Negeri 5 Menara, Habibie Ainun, dan Sang Penari satu persatu mulai mengisi layar lebar. Tentunya masih banyak lagi yang muncul. Tetapi, apakah itu semua sudah cukup menyentuh nurani manusia Indonesia? Jawabannya, belum.
Bukan rahasia lagi, kondisi perekonomian bangsa Indonesia lebih banyak didominasi oleh golongan menengah ke bawah, dengan pendapatan rata-rata sesuai atau bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Pilihan menyisihkan sedikit dari hasil pendapatan untuk menonton film di bioskop agaknya bukan sesuatu yang tepat. Ditambah lagi, naiknya harga bahan bakar, memicu naiknya berbagai harga di negara ini. Tentunya, melihat dari kasus tersebut, pilihan menyebarluaskan karya sastra melalui film layar lebar, menjadi langkah kurang bijak. Lalu bagaimana dengan pementasan teater? Ah, tentunya, itu juga belum cukup mampu mengatasi masalah yang tengah dialami. Teater tidak setiap waktu mementaskan lakonnya, juga untuk menyaksikannya, membutuhkan uang yang cukup menguras kantong.
Sebuah evolusi atau variasi penyebarluasan merupakan pencerah ditengah sekelumit kisah mengenai hubungan sastra dan manusia. Evolusi dalam hal variasi promosi sebuah karya  menjadi sangat perlu dan sinetron adalah media paling pas dalam hal ini. Selain mudah dijangkau, sinetron pun mampu tayang setiap hari, juga dalam waktu yang pasti. Meskipun dalam pelaksanaannya akan diketemukan aral melintang, terutama menyoal biaya.[]
2013

JALAN PULANG


Dimuat di Republika, 8 Desember 2013

JALAN PULANG
Oleh : Tawakal M. Iqbal

Malam hampir habis. Hujan perlahan datang membawa sekawanan kepak menuju cahaya lampu taman. Di depan masjid ada sekelompok orang berjalan dengan mata setengah tertutup. Tak tentu arah. Mereka sedang melakukan perjalanan ruang dan waktu. Aku ada dalam barisan itu. Di langit, bulan serupa angin, timbul dan menghilang. Hanya bintang, yang menemaniku minum hingga malam pertengahan. Mungkin juga larut. Aku tak tahu pasti mengenai waktu. Aku hanya berjalan tertatih dan begitu saja melangkah.
Awal mula aku masuk ke dalam dunia hitam, ketika aku ingin mendalami keimananku.  Aku masih muda ketika itu. Dan sulit sekali untuk mulai memahami keinginanku. Rasa ingin tahu tiba-tiba saja muncul selepas lulus dari SMA. Mungkin juga karena tak ada lagi beban, pikirku.
Setiap kali aku mabuk, aku selalu mengalami kejadian yang sama. Tentang percakapan, pertemuan dan apapun itu. Semuanya selalu sama. Tepat pukul 03.00 pagi, saat Yayn hendak pergi ke masjid dan aku pulang ke rumah.
“Baru pulang rupanya kau Min, habis berapa ?”
Aku selalu tersentak bila seseorang menanyakan itu. Aku bukan tukang mabuk. Aku hanya minum. Hanya itu, tidak lebih.
Tololnya lagi, aku selalu pulang lewat masjid bila sesudah minum terlalu banyak.
“Aku tak menghabiskan apapun.” Kataku agak kesal.
“Lalu alasan untuk perutmu yang semakin membesar apa Min?”
“Perutku dari dulu memang besar, apa kau sudah lupa Yan?”
“Oh iya, aku telah lupa akan dirimu itu. Habis yang aku tahu Pamin yang  dulu sih. Dia adalah seorang yang pandai akan banyak hal meskipun tentang bacaan Al Quran ia tak begitu. Dan kau tahu, kau tak pernah begini.”
Di bagian ini aku tahu pasti tentang apa yang akan terjadi.
Aku akan memandang kubah masjid dengan tenang. Anehnya hal ini pasti kulakukan bila terlibat percakapan yang tak diundang.
“Makanya aku jadi pangling melihat kau ada disini, apa kau mau sholat juga?”
Aku seperti terlilit tali waktu. Di mana hanya aku dan Yayan yang hampir pasti terlibat percakapan tentang ini. Bahkan aku hapal betul apa yang akan kami katakan selanjutnya. Di bagian ini Yayan pasti akan menyindir tentang kebiasaanku.
“Eh sebentar, hampir saja aku lupa. Mana mungkin Tuhan mengijinkan kau untuk sholat, kau kan seorang pemabuk.”
Aku bilang juga apa, aku telah hapal betul dialog percakapan ini.
“Kita sama-sama mahluknya, Yan.”
“Apa kau bilang, mana mungkin Tuhan mau menyamakan derjat kita. Aku tukang sholat dan engkau tukang mabuk, ma-buk!” Suaranya terdengar sedikit sengaja dibesarkan.
“Tapi.”
“Tak ada tapi, tempatmu di sana Min! Di tempat gelap dengan cahaya yang warna-warni dan berkelipan  itu.  Masjid ini adalah tempatku. Tempat orang-orang taat, yang takut akan siksa akhirat.”
Aku diam. Kepalaku terasa berat waktu itu. Aku tundukan kepala, pandanganku kunang-kunang. Rasanya ingin segera kutaruh di atas bantal empuk dari kapuk randu terbaik.
Angin subuh bergerak begitu pelan, bagai selimut yang terbentang di ujung musim penghujan.
“Sekarang kau mengerti Min?”
“Mungkin.” Aku berjalan seperti anjing penyakitan, dengan tiga kaki busuknya mencoba menaiki anak tangga. Aku menuju pintu yang terang itu. Menuju masjid tempatku dulu menumpang tidur, bila sehabis sekolah pulang terlalu larut.
“Eeee, mau kemana kau Min. Apa kau tidak dengar perkataanku tadi? Ini bukan tempatmu, tuhanmu adalah bir dan tempatnya bukan di sini!”  Ia mendorongku keluar dari Masjid. Gerakan Yayan dalam berbagai kejadian masih seperti itu. Kuat dan menjengkelkan.
“Ijinkan aku bertemu dengan tuhanmu sekali saja, aku mohon.” Aku memaksa masuk, dan terus berjalan. Sampailah aku pada ruangan yang tenang. Tempat Imam memimpin Shafnya dalam sholat. Yayan marah besar, disingkilkan sarung barunya lalu mengejar Aku.
“Hei , apa kau tidak mengerti juga? Ini bukan tempatmu dasar orang sesat. Ini tempat para penghuni surga. Kau telah membuat aku malu pada tuhanku, pergi!”
“Kau bilang aku sesat, seolah kau paling tahu tentang agama. Apakah kau tahu agama hah?”
Aku memang tidak taat, tapi aku tidak sesat. Aku hanya ingin menimati hidup, apa itu salah? Kehidupan bisa saja tidak akan berlangsung tiap waktu. Makanya aku agak sedikit melupakan agama. Tapi kehidupan tidak akan berarti tanpa agama. Aku selalu risau memikirkan hal ini.
“Apa  kau bercanda?”
“Tidak!” Aku mulai menatap matanya tajam.
“Hei orang sesat, dengar ini!”
Di bagian ini aku tidak mendengarkan dia bicara. Sudah cukup ia mengataiku dengan sebutan sesat. Akhirnya dengan sedikit terpaksa aku lekas berjalan mendekat ke tumpukan Al Quran.
“Hei apa kau dengar aku, hah?”
Memilih diam dari orang ini bukan pilihan yang baik. Di bagian ini dia merasa tinggi dengan segala yang dikethuinya soal agama.
“Aku ini orang beriman yang tahu akan agamaku sendiri. Agamaku bukan agama turunan. Karena aku tahu semua tentang agama maka aku yakin jika aku adalah benar!”
“Kalau begitu kau tidak tahu agama.” Aku meradang.
Di kejauhan Al Quran terlihat begitu mesra dengan cahaya lampu di kejuhan. Ia begitu lembut.
“Apa maksudmu berbicara seperti itu orang sesat. Kau meremehkan pengetahuanku. Aku tak akan  disini kalau tidak paham.” Yayan membenarkan pecinya yang sering kali turun karna sudah sempit. Peci itu tak pernah diganti sejak ia pulang dari haji.
“Aku rasa kau salah mengartikan agama. Dia bukan soal pengetahuan tetapi keyakinan!” Pandanganku masih tertuju pada Al Quran itu. Akhirnya aku mengambil salah satunya dari tumpukan yang tak keruan.
“Kau tahu apa Min, mencoba mengajari…  eeee lepaskan tangan kotormu dari benda suci itu. Ayo lepaskan!”
Dia merebut benda itu dari tanganku.
“Apa itu punyamu?”
“Bukan, ini kepunyaan orang-orang beriman.”
“Berarti itu punyaku juga.” Aku merbut kembali. Seperti kisah sebelumnya aku kemudian membuka beberapa halaman, lalu memandangnya.
“Sekali lagi aku katakan, kau orang sesat dan lepaskan benda suci itu!”
“Ini akan menjadi suci bila kita baca.”
“Ya kau benar, tapi bukan orang sepertimu yang diharapkan oleh tuhanku. Kau tak pernah bisa membaca benda itu,  tanganmu hanya pantas memgang botol-botol murahan!”
“Kau sudah jadi tuhan rupanya.”
“Apa kau bilang, dasar baji….. ya tuhan ampunilah sahabatkuku yang satu ini. Dia mengatakan aku sama sepertimu. Sungguh aku tak pernah berharap  punya kawan seperti ini, maafkan dia .” Yayan memandang kelangit-langit dengan wajah ketakutan. “Kau, jangan pernah bilang kalau aku adalah tuhan.”
“Tapi….. sudahlah, tak ada gunannya aku berbicara denganmu. Aku akan melihat ini saja. Sepertinya ini lebih berarti.” Aku agak sedikit meledek Yayan. Al Quran itu kupegang dengan dua jari tangan kiri.
“Dasar tak punya otak, pantang mengangkat benda itu dengan tangan kiri.”
“Oh, maaf.”
“Tuhan tak akan memaafkanmu!”
“Tahu dari mana?”
“Pengetahuanku lebih tinggi. Aku sudah berhaji. Aku lebih dari kamu dalam hal apapun.”
“Kalau begitu ajari aku agar sama denganmu.”
“Percuma!”
“Tak ada yang percuma, ayo!” Aku memainkan Al Quran seperti memainkan kertas buram. Itu sengaja kumainkan untuk memancing perhatian dia.
“Letakan benda itu, atau aku yang akan….”
“Benda ini terlihat konyol bila di tumpuk begitu!”
“Akan lebih hancur jika ada di tanganmu.”
“Ini lebih baik daripada dilumuri debu, dan dibiarkan menumpuk seperti bungkusan ikan. Aku akan membawanya untuk kuselami lebih dalam lagi.”
“Tak ada yang boleh membawanya. Selain orang yang sudah berhaji!”
“Lalu untuk apa?”
“Itu hanya untuk suci sepertiku.”
“Kalau begitu aku akan menyucikan diri dengan membacanya. Aku  janji akan mempelajarinya dan menjadikan diriku dekat dengan tuhan dan…”
“Tuhan tak akan sudi dekat denganmu!”
Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku seperti orang paling kotor yang pernah ada.
“Dia dekat dengan siapa saja yang mau bertobat.  Termasuk kita!” Aku menyanggah kesombongannya.
“Haha, aku tiap waktu menghadapnya. Aku tak perlu tak usah dibawa-bawa!
Ada tangan yang lebih pantas menyentuh benda ini daripada kau.” Dia merebut Al Quran dari tanganku. Beberapa halaman yang kupegang sobek. Aku mendapatkan sobekan itu.
“Ah dasar bodoh! Kitab ini jadi sobek gara-gara kamu.”
Aku tak tahu apakah Yayan benar-benar menyesali apa yang telah terjadi atau memang dia hanya ingin terlihat lebih benar.
“Lalu untukku, kapan?” Aku membentaknya kali ini. “Apakah mesti mati dahulu untuk bisa menyentuh dan membacanya seperti kebanyakaan orang? Tuhan maha pengasih, ia mengasihi siapa saja yang mau…” Aku meninggalkan tempat itu. Melangkah tepat di depan Yayan yang sedang tertunduk meratapi kecerobohannya.
“Kau tak pantas untuk ini Min, pergilah keasalmu!”
***
Matahari muncul sedanya. Angin meninggalkan debu dikaca-kaca rumah. Burung  berkicauan dengan nada sumbang. Masjid ini selalu lembab setiap kali aku minum sampai mabuk. Oleh air mata, ludah, arak, dan kesombongan.
“Ya, aku telah salah jalan.” Pikirku. Aku tak berani lagi menoleh ke arah bangunan itu. Dengan kepala tertunduk, aku mulai pergi. Tangan kiriku menjambak- menjambak rambut yang di serang gatal entah dari mana. “Bis mi la… ah apa ya aku tak bisa membacanya.” Sepanjang jalan pulang aku terus membaca sobekan itu.
Di kejauhan, Yayan masih mengutuki dirinya sendiri. Bebarapa kata yang tak seharusnya keluarpun ia paksakan terlontar. Ia begitu kasihan.
Kejadian ini pasti akan terjadi lagi esok di jam dan waktu yang sama. Itupun bila aku mabuk.*

2013

Jumat, 11 Juli 2014

Kompas, 22 Juni 2014
Kuda Emas
oleh Tawakal M. Iqbal

Ciasahan, hanya di Ciasahan orang tua dan anak-anak mudah sekali memercayai kisah, baik sejarah ataupun bualan seorang Kakek kepada cucu-cucunya. Kisah bagaikan sesuatu yang turun dari langit, semisal kitab, yang sakral dalam dada setiap masyarakat. Kisah tentang perempuan yang hanyut di kali. Pasukan nasi menyerang kampung. Masih banyak lagi. Kisah-kisah tersebut umumnya hanya membuat anak-anak menjadi takut. Tetapi, kisah yang akan disampaikan, bagi anak kecil, adalah kisah paling fenomenal di antara yang lainnya. Ini menyangkut banyak hal, terutama misteri dan materi. Bagaimanapun kampungannya kampungku tetap saja materi selalu dijadikan prioritas, mengapa anak-anak mau menurut pada orang tuanya untuk bersekolah. Padahal jika dipikirkan, terlalu banyak waktu kami yang terbuang hanya untuk diam di kelas, mendengarkan guru berceramah misalnya. Ada banyak hal di kampungku yang sebetulnya sayang sekali dilewatkan, daripada belajar di sekolah, tentunya. Sayang, anak-anak di kampungku tidak ada yang berani menolak apalagi melanggar perintah orang tua.
Di belakang rumahku menjulang gunung Tanjoleat. Cukup tinggi. Teman-teman seusiaku, dahulu selalu berangan-angan agar dapat pergi ke puncak untuk dapat menyentuh langit. Yang lainnya berharap bisa bertemu bintang film Bollywood, Amir Kahn atau Amitha Bachan, di balik gunung itu. Mereka kira ada sebuah daratan bernama India di sana. Penuh wanita cantik dengan sindur di antara kedua alis matanya. Aku baru tahu setelah dewasa, kalau India itu tidak pernah ada di balik gunung Tanjoleat. India berada di Asia bagian Barat dekat dengan Pakistan dan Bangladesh.
Tanjoleat, adalah gunung yang dipenuhi bebatuan. Sumber sejarah yang tak pernah terungkap, tentang banyak hal. Persembunyian tentara lokal ketika melawan penjajah, kuburan putri, batu yang mirip perahunya Nuh, sepasang telapak kaki, batu pistol, dan batu ular. Sudah banyak peneliti yang mencoba peruntungannya untuk mengungkap sejarah apa saja yang terpendam di sana. Tapi seringkali tak berhasil. Kecurigaanku selalu timbul ketika para peneliti datang ke kampungku dengan alasan hendak melakukan riset. Aku selalu tidak percaya. Pasti ada sesuatu yang berharga sedang mereka incar, entah apa.
Beribu monyet hidup di sana. Babi hutan, kelalawar, dan harimau kumbang yang mendiami goa-goa di sela-sela tumpukan batu. Konon, kuda emas juga hidup di gunung itu dan setiap Kamis malam, tepat pukul 12.00, kuda itu selalu terbang menuju Tenggara, membentangkan sayap, mengibas-ibaskan ekornya. Kilau keemasan memancar ke mana-mana. Kalau kau seorang penyuka bintang dan seringkali takjub ketika melihat bintang jatuh atau himpunan kunang-kunang terbang ke arahmu, kata kekek, kuda emas lebih indah dari itu. Terdengar seperti dongeng memang. Tetapi, ini terjadi di kampung kami, Ciasahan. Kakek sendiri yang menceritakannya padaku. Suatu sore, ketika hujan deras dan angin pegunungan terasa menusuk.  
Jarang sekali ada orang yang melihat langsung kejadian itu. Aku tahu itu lewat cerita-cerita dari teman dan dari Kakekku sendiri. Katanya, hanya orang-orang yang beriman dan memiliki hati cemerlanglah yang dapat melihat kuda itu. Aku pikir hatiku masih cemerlang, sholat, dan hapalan ngajiku tidak ada masalah. Tapi sampai sekarangpun aku belum juga melihat kuda itu terbang di atas rumah. Ini sungguh aneh.
Anak-anak di kampungku, seringkali memimpikan untuk, setidaknya pernah sekali saja melihat kuda itu terbang di atas rumah-rumah dan berharap ia mengeluarkan sesuatu dari pantatnya. Tentu saja orang yang tidak tahu mengenai akan hal ini menganggap harapan itu adalah harapan paling bodoh. Tapi tidak bagi kami. Setiap seusai sholat, kami selalu berdoa meminta hal itu terjadi.
Aku jadi teringat kisah dahulu. Kau mungkin tidak akan percaya, ketika zaman sekolah dasar dulu, kelas mata pelajaran Bahasa Indonesia tepatnya, saat ibu guru bertanya perihal cita-cita dewasa nanti, teman-teman sekelas mengatakan, “menjadi penggembala kuda emas”. Dan kau tahu, semua murid mengatakan kalimat yang sama. Ibu guru geram mendengarnya.
“Kalian tidak mengerti apa artinya cita-cita!”
Kami hanya menunduk takut. Baginya cita-cita kami tak memiliki arti. Cita-cita kami hanyalah khayalan anak-anak yang terbuai oleh dongeng-dongeng murahan. Ibu guru tidak mengerti tentang apa yang menjadi keinginan kami. Bagi anak seusia kami itu adalah hal yang luar biasa. Tapi sayangnya hingga kini tak ada satupun yang berhasil mengejar itu.
Memiliki kuda emas merupakan hal paling menyenangkan. Bayangkan saja, kau tidak perlu bangun pagi untuk bekerja. Lembur sampai pagi untuk menghasilkan uang tambahan. Tidak perlu melakukan hal-hal konyol semacam menunggu uang bulanan atau meminjam uang ke tetangga untuk resiko sehari-hari. Kau hanya tinggal beribadah, berdoa, dan menunggu kotoran yang keluar dari pantat kuda. Kotoran itu dalam sekejap mata akan menjadi emas murni 14 karat, berbentuk oval. Harga emas itu cukup untuk melakukan perjalanan mengelilingi dunia setiap Minggunya. Mentraktir seluruh warga kampung selama sebulan penuh. Coba bayangkan, itu luar biasa bukan?
Cita-cita kami sempat sirna ketika beberapa teman bercerita, “kuda emas itu tidak makan rumput, tapi makan perempuan.” Teman yang satunya bilang, “kuda itu bukan makan perempuan, tapi makan anak kecil yang pipis di luar rumah”.
Yang lainnya bilang “makan batu”.
“Pohon mahoni.”
“Ikan mas!”
“Karang.”
“Durian.”
“Kalian tahu dari siapa?
Semuanya menjawab, “Kakek!”
“Memang Kakekmu tahu dari mana?”.
Mereka menjawab, “dari Kakeknya Kakek”.
Aku yang masih bodoh, kadangkala langsung percaya terhadap apa yang teman-teman katakan.
***
Suatu malam ketika aku terbangun karena merasa kebelet, dan itu sudah tidak dapat ditahan lagi. Aku turun dari ranjang dan segera keluar rumah. Di langit kulihat ada serbuk-serbuk berkilauan dan aku yakin itu bukan kunang-kunang. Suara rengeh terdengar dari jauh. Aku teringat perkataan teman bahwa kuda emas adalah pemakan anak kecil. Aku langsung lari ke dalam rumah dan langsung mengunci pintu. Malam itu terasa mencekam sebelum akhirya aku memilih pipis di celana. Belum ada kamar mandi di rumahku waktu itu. Untuk pipis saja, aku mesti keluar ke pancuran belakang rumah.
Ibuku memarahiku karena pipis di celana. Kakek datang padaku dan menanyakan alasan mengapa aku ngompol. Aku bersikeras mengatakan kalau aku tidak ngompol. Aku hanya pipis. Tepatnya memilih pipis.
Aku mengatakan hal yang sebenarnya pada Kakek tentang serbuk emas dan suara rengehan kuda dari Timur sana. Ibu diam. Senyum semringah muncul dari wajah Kakek.
“Akhirnya kuda itu memilih kamu, nak.”
“Maksudnya?”
“Ya, ia akan sering terbang di atas rumah kita untuk menjaga kita?”
“Aku tidak mengerti, kek.”
“Nanti kau akan mengerti.”
Konon kuda itu terbang menuju tempat-tempat yang tak pernah diketahui.
“Kuda emas itu menuju gunung Pongkor untuk menemui kekasihnya.”  Kata Kakek. Percintaan antar kedua kuda itu seringkali ditandai dengan purnama yang sempurna. Lalu cahaya yang dipancarkan bulan akan memantul dan mengubah warna putih menjadi kilau keemasan.
“Itu yang membuat gunung Pongkor kaya akan emasnya.” 
“Aku tidak mengerti.”
“Emas yang dijadikan orang-orang sebagai perhiasan, itu adalah telur kuda emas.”
“Hah?”
“Kuda itu tidak beranak, tetapi bertelur. Butuh berjuta-juta tahun untuk mebuat telur-telur itu menetas,” ungkap Kakek,
Sungguh tragis ketika tahu, membutuhkan waktu berjuta-juta tahun untuk menelurkan emas sebanyak itu. Dan di tempat kuda emas bertelur telah dibangun perusahaan tambang besar. Kau tahu, sejak kejadian aku melihat kuda itu terbang dari Tanjoleat menuju Pongkor, kuda itu tak pernah terlihat lagi. Kakek bilang, kuda itu telah terbang dari Papua ke Maluku, lalu ke Kalimantan, Sumatera sebelum akhirnya ke Tanjoleat, kampung kami. Aku khawatir kuda itu kini telah terbang menuju negara lain untuk mencari sarang baru tempatnya bertelur. Sebab di tempat kami, perburuan emas selalu panas. Lagipula, pohon-pohon di Tanjoleat sekarag telah habis. Banyak kedapatan hewan-hewan liar masuk kampung kami. Sekawanan monyet jarang lagi terlihat memanjat-manjat batuan cadas di Tanjoleat. Kini seringkali sepi.
“Bagaimanapun, kuda emas juga adalah seekor hewan. Sama seperti mahluk hidup lainnya. Dia ingin melihat anak-anaknya tumbuh besar sebelum waktunya di bumi habis.” Ucap Kakek.
Dan soal menjadi penggembala kuda emas, hal itu sudah lama hilang di benakku. Aku kini lebih tertarik menentang pertambangan emas ketimbang memburu emasnya.*

Ciasahan 2014

 
Diberdayakan oleh Blogger.