Defamiliarisasi
Budaya
Oleh Tawakal M Iqbal
Sabtu
sore, di sebuah villa dekat pesawahan di Barengkok, saya bersama beberapa rekan
lain terlibat diskusi yang cukup menarik mengenai formalisme dalam kesusastraan
dan sejarahnya. Memang terdengar klise, tapi di kampung saya yang jauh sekali
dari hiruk pikuk kesusastraan, pembahasan semacam ini justru terdengar baru.
Formalisme
merupakan teori sastra yang muncul pada tahun 1916 di Russia berbarengan dengan
New Criticsm di Amerika Serikat.
Objek kajian formalisme menekankan pada sebuah bentuk di dalam kesusastraan.
Bahwa sastra sebagai seni yang bentuk konkretnya adalah bahasa, memiliki cara
berbeda dalam mengungkapkan sesuatu hal yang sederhana dengan sesuatu yang lain
(metafora bahasa). Seorang penulis sastra, ketika ia menulis tentang kecemasan
yang dialami si tokoh dalam cerita, misalnya. Penulis akan menerangkan berbagai
macam situasi yang tengah menjadi beban di pikiran si tokoh. Sehingga aktivitas
yang dilakukan si tokoh menjadi tidak terkontrol. Ini menuntut tingkat
pemahaman yang dalam dari si pembaca. Sampai akhirnya tanpa diberitahu oleh
penulis, pembaca akan menilai sendiri bahwa si tokoh dalam cerita itu sedang
merasa cemas. Nilai sastra dari kasus ini adalah, melatih pembaca untuk menjadi
seseorang yang memiliki kepekaan dan tingkat berpikir kritis tinggi.
Bahasa
sebagai bentuk dari seni sastra dalam praktiknya terbagi dua macam, yakni bahasa
praktis (baasa sehari-hari) dan bahasa sastra. Bagi kaum formalis bahasa sastra
itu mesti berbeda dengan bahasa praktis. Bagaimana bahasa di dalam sastra
memiliki berbagai macam cara untuk mengungkapkan sesuatu atau sengaja dilakukan
dalam penggunaannya. Sehingga akan menimbulkan suatu sentuhan yang berbeda
dengan bahasa yang digunakan oleh banyak orang (bahasa
praktis). Perbedaan inilah yang seringkali dikenal dengan defamiliarisasi.
***
Dalam
kesusastraan, defamiliarisasi seringkali dapat mudah kita temukan. Apa yang
dilakukan Chairil ketika membebaskan puisi dari aturan-aturan yang mengikat,
misalnya. Itu merupakan proses defamiliarisasi. Contoh lainnya, ketika Sutardji
mencetuskan kredo puisi, “bahwa kata adalah kata itu sendiri”. Pada mulanya tidak
banyak orang yang menerima itu, karena dianggap telah keluar dari kesepakatan
semu yang mengikat masyarakat penulis. Tetapi, pada kenyataannya, kini kredo
Sutardji mendapatkan tempat di hati para penikmat puisi. Sederhananya,
defamiliarisasi merupakan langkah yang dilakukan seseorang untuk keluar dari
kebiasaan lama yang mengukung dirinya. Entah tanpa atau dengan alasan yang
kuat, banyak orang telah memilih jalan untuk masuk ke dalam proses defamiliar.
Sastra
merupakan refleksi dari kehidupan nyata. Defamiliarisasi sendiri dapat ditemukan
tidak hanya di dalam kesusastraan, melainkan di kehidupan nyata sekalipun. Bahkan
defamiliarisasi di kehidupan nyata, tengah berada pada dua kondisi yang saling bersinggungan.
Yaitu nilai yang keduanya memiliki posisi salah di mata manusia. Meskipun
defamiliar yang bagi sebagian besar orang merupakan langkah atau konsep keliru,
akan tetapi ia dapat secara mudah berbalik menjadi aksi dan perspektif yang
benar. Seseorang yang bekerja sebagai anggota dewan, misalnya. Tentu saja dalam
seketika si anggota dewan tersebut akan menjadi bahan ejekan bila dia memilih
tindakan untuk menolak melakukan korupsi, padahal kesempatan yang dimilikinya
sangat banyak.
Nilai
kebaikan yang di zaman dulu dianggap benar, kini (saya melihat) tidak lagi
mendapatkan tempat semestinya. Contoh kasus lainnya, orang yang menolong
nenek-nenek menyebrang di jalan raya, akan dianggap lebay atau cari perhatian oleh sekelompok orang yang melihat kejadian
tersebut. Padahal nyatanya orang tersebut dengan ikhlas menolong si nenek.
Nilai kebaikan menjadi defamiliar bagi keburukan, yang ketika dulu merupakan
hal sebaliknya.
Tentu
saja pandangan orang terhadap dua nilai tersebut dapat dikatakan keliru. Akan
tetapi, meskipun hal tersebut telah telanjur marak terjadi bahakan membudaya,
masih ada sebagian orang yang menganggap keburukan adalah defamiliar dari
kebaikan. Defamiliarisasi sebagai proses atau langkah untuk keluar dari zona
nyaman telah disalahgunakan pada kebiasaan yang akhirnya menjadi akar bagi
sebuah tindakan. Seseorang yang masuk dewan dengan tujuan memberantas korupsi
akan menjadi terasing di tengah konsepsi tentang nilai yang keliru. Defamiliar akan
selalu dan tetap menjadi konsep yang utuh, meski berada pada dua posisi saling
berlawanan.*
2014
0 komentar:
Posting Komentar