Main Menu

Jumat, 11 Juli 2014

Defamiliarisasi Budaya


Defamiliarisasi Budaya
Oleh Tawakal M Iqbal

Sabtu sore, di sebuah villa dekat pesawahan di Barengkok, saya bersama beberapa rekan lain terlibat diskusi yang cukup menarik mengenai formalisme dalam kesusastraan dan sejarahnya. Memang terdengar klise, tapi di kampung saya yang jauh sekali dari hiruk pikuk kesusastraan, pembahasan semacam ini justru terdengar baru.

Formalisme merupakan teori sastra yang muncul pada tahun 1916 di Russia berbarengan dengan New Criticsm di Amerika Serikat. Objek kajian formalisme menekankan pada sebuah bentuk di dalam kesusastraan. Bahwa sastra sebagai seni yang bentuk konkretnya adalah bahasa, memiliki cara berbeda dalam mengungkapkan sesuatu hal yang sederhana dengan sesuatu yang lain (metafora bahasa). Seorang penulis sastra, ketika ia menulis tentang kecemasan yang dialami si tokoh dalam cerita, misalnya. Penulis akan menerangkan berbagai macam situasi yang tengah menjadi beban di pikiran si tokoh. Sehingga aktivitas yang dilakukan si tokoh menjadi tidak terkontrol. Ini menuntut tingkat pemahaman yang dalam dari si pembaca. Sampai akhirnya tanpa diberitahu oleh penulis, pembaca akan menilai sendiri bahwa si tokoh dalam cerita itu sedang merasa cemas. Nilai sastra dari kasus ini adalah, melatih pembaca untuk menjadi seseorang yang memiliki kepekaan dan tingkat berpikir kritis tinggi.

Bahasa sebagai bentuk dari seni sastra dalam praktiknya terbagi dua macam, yakni bahasa praktis (baasa sehari-hari) dan bahasa sastra. Bagi kaum formalis bahasa sastra itu mesti berbeda dengan bahasa praktis. Bagaimana bahasa di dalam sastra memiliki berbagai macam cara untuk mengungkapkan sesuatu atau sengaja dilakukan dalam penggunaannya. Sehingga akan menimbulkan suatu sentuhan yang berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh banyak orang (bahasa praktis). Perbedaan inilah yang seringkali dikenal dengan defamiliarisasi.

***

Dalam kesusastraan, defamiliarisasi seringkali dapat mudah kita temukan. Apa yang dilakukan Chairil ketika membebaskan puisi dari aturan-aturan yang mengikat, misalnya. Itu merupakan proses defamiliarisasi. Contoh lainnya, ketika Sutardji mencetuskan kredo puisi, “bahwa kata adalah kata itu sendiri”. Pada mulanya tidak banyak orang yang menerima itu, karena dianggap telah keluar dari kesepakatan semu yang mengikat masyarakat penulis. Tetapi, pada kenyataannya, kini kredo Sutardji mendapatkan tempat di hati para penikmat puisi. Sederhananya, defamiliarisasi merupakan langkah yang dilakukan seseorang untuk keluar dari kebiasaan lama yang mengukung dirinya. Entah tanpa atau dengan alasan yang kuat, banyak orang telah memilih jalan untuk masuk ke dalam proses defamiliar.

Sastra merupakan refleksi dari kehidupan nyata. Defamiliarisasi sendiri dapat ditemukan tidak hanya di dalam kesusastraan, melainkan di kehidupan nyata sekalipun. Bahkan defamiliarisasi di kehidupan nyata, tengah berada pada dua kondisi yang saling bersinggungan. Yaitu nilai yang keduanya memiliki posisi salah di mata manusia. Meskipun defamiliar yang bagi sebagian besar orang merupakan langkah atau konsep keliru, akan tetapi ia dapat secara mudah berbalik menjadi aksi dan perspektif yang benar. Seseorang yang bekerja sebagai anggota dewan, misalnya. Tentu saja dalam seketika si anggota dewan tersebut akan menjadi bahan ejekan bila dia memilih tindakan untuk menolak melakukan korupsi, padahal kesempatan yang dimilikinya sangat banyak.

Nilai kebaikan yang di zaman dulu dianggap benar, kini (saya melihat) tidak lagi mendapatkan tempat semestinya. Contoh kasus lainnya, orang yang menolong nenek-nenek menyebrang di jalan raya, akan dianggap lebay atau cari perhatian oleh sekelompok orang yang melihat kejadian tersebut. Padahal nyatanya orang tersebut dengan ikhlas menolong si nenek. Nilai kebaikan menjadi defamiliar bagi keburukan, yang ketika dulu merupakan hal sebaliknya.

Tentu saja pandangan orang terhadap dua nilai tersebut dapat dikatakan keliru. Akan tetapi, meskipun hal tersebut telah telanjur marak terjadi bahakan membudaya, masih ada sebagian orang yang menganggap keburukan adalah defamiliar dari kebaikan. Defamiliarisasi sebagai proses atau langkah untuk keluar dari zona nyaman telah disalahgunakan pada kebiasaan yang akhirnya menjadi akar bagi sebuah tindakan. Seseorang yang masuk dewan dengan tujuan memberantas korupsi akan menjadi terasing di tengah konsepsi tentang nilai yang keliru. Defamiliar akan selalu dan tetap menjadi konsep yang utuh, meski berada pada dua posisi saling berlawanan.*

2014

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.