Dimuat di Republika, 8 Desember 2013
JALAN PULANG
Oleh : Tawakal
M. Iqbal
Malam hampir habis. Hujan perlahan
datang membawa sekawanan kepak menuju cahaya lampu taman. Di depan masjid ada
sekelompok orang berjalan dengan mata setengah tertutup. Tak tentu arah. Mereka
sedang melakukan perjalanan ruang dan waktu. Aku ada dalam barisan itu. Di
langit, bulan serupa angin, timbul dan menghilang. Hanya bintang, yang
menemaniku minum hingga malam pertengahan. Mungkin juga larut. Aku tak tahu
pasti mengenai waktu. Aku hanya berjalan tertatih dan begitu saja melangkah.
Awal mula aku masuk ke dalam dunia hitam, ketika aku ingin
mendalami keimananku. Aku masih muda
ketika itu. Dan sulit sekali untuk mulai memahami keinginanku. Rasa ingin tahu
tiba-tiba saja muncul selepas lulus dari SMA. Mungkin juga karena tak ada lagi
beban, pikirku.
Setiap kali aku mabuk, aku selalu mengalami kejadian yang
sama. Tentang percakapan, pertemuan dan apapun itu. Semuanya selalu sama. Tepat
pukul 03.00 pagi, saat Yayn hendak pergi ke masjid dan aku pulang ke rumah.
“Baru pulang rupanya kau Min, habis berapa ?”
Aku selalu tersentak bila seseorang menanyakan itu. Aku
bukan tukang mabuk. Aku hanya minum. Hanya itu, tidak lebih.
Tololnya lagi, aku selalu pulang lewat masjid bila sesudah
minum terlalu banyak.
“Aku tak menghabiskan apapun.” Kataku agak kesal.
“Lalu alasan untuk perutmu yang semakin membesar apa Min?”
“Perutku dari dulu memang besar, apa kau sudah lupa Yan?”
“Oh iya, aku telah lupa akan dirimu itu. Habis yang aku
tahu Pamin yang dulu sih. Dia adalah
seorang yang pandai akan banyak hal meskipun tentang bacaan Al Quran ia tak
begitu. Dan kau tahu, kau tak pernah begini.”
Di bagian ini aku tahu pasti tentang apa yang akan
terjadi.
Aku akan memandang kubah masjid dengan tenang. Anehnya hal
ini pasti kulakukan bila terlibat percakapan yang tak diundang.
“Makanya aku jadi pangling melihat kau ada disini, apa kau
mau sholat juga?”
Aku seperti terlilit tali waktu. Di mana hanya aku dan
Yayan yang hampir pasti terlibat percakapan tentang ini. Bahkan aku hapal betul
apa yang akan kami katakan selanjutnya. Di bagian ini Yayan pasti akan
menyindir tentang kebiasaanku.
“Eh sebentar, hampir saja aku lupa. Mana mungkin Tuhan
mengijinkan kau untuk sholat, kau kan seorang pemabuk.”
Aku bilang juga apa, aku telah hapal betul dialog percakapan
ini.
“Kita sama-sama mahluknya, Yan.”
“Apa kau bilang, mana mungkin Tuhan mau menyamakan derjat
kita. Aku tukang sholat dan engkau tukang mabuk, ma-buk!” Suaranya terdengar
sedikit sengaja dibesarkan.
“Tapi.”
“Tak ada tapi, tempatmu di sana Min! Di tempat gelap
dengan cahaya yang warna-warni dan berkelipan
itu. Masjid ini adalah tempatku.
Tempat orang-orang taat, yang takut akan siksa akhirat.”
Aku diam. Kepalaku terasa berat waktu itu. Aku tundukan
kepala, pandanganku kunang-kunang. Rasanya ingin segera kutaruh di atas bantal
empuk dari kapuk randu terbaik.
Angin subuh bergerak begitu pelan, bagai selimut yang terbentang di ujung musim
penghujan.
“Sekarang kau mengerti Min?”
“Mungkin.” Aku berjalan seperti anjing penyakitan, dengan
tiga kaki busuknya mencoba menaiki anak tangga. Aku menuju pintu yang terang
itu. Menuju masjid tempatku dulu menumpang tidur, bila sehabis sekolah pulang
terlalu larut.
“Eeee, mau kemana kau Min. Apa kau tidak dengar
perkataanku tadi? Ini bukan tempatmu, tuhanmu adalah bir dan tempatnya bukan di
sini!” Ia mendorongku keluar dari
Masjid. Gerakan Yayan dalam berbagai kejadian masih seperti itu. Kuat dan
menjengkelkan.
“Ijinkan aku bertemu dengan tuhanmu sekali saja, aku
mohon.” Aku memaksa masuk, dan terus berjalan. Sampailah aku pada ruangan yang
tenang. Tempat Imam memimpin Shafnya dalam sholat. Yayan marah besar,
disingkilkan sarung barunya lalu mengejar Aku.
“Hei , apa kau tidak mengerti juga? Ini bukan tempatmu
dasar orang sesat. Ini tempat para penghuni surga. Kau telah membuat aku malu
pada tuhanku, pergi!”
“Kau bilang aku sesat, seolah kau paling tahu tentang
agama. Apakah kau tahu agama hah?”
Aku memang tidak taat, tapi aku tidak sesat. Aku hanya
ingin menimati hidup, apa itu salah? Kehidupan bisa saja tidak akan berlangsung
tiap waktu. Makanya aku agak sedikit melupakan agama. Tapi kehidupan tidak akan
berarti tanpa agama. Aku selalu risau memikirkan hal ini.
“Apa kau bercanda?”
“Tidak!” Aku mulai menatap matanya tajam.
“Hei orang sesat, dengar ini!”
Di bagian ini aku tidak mendengarkan dia bicara. Sudah
cukup ia mengataiku dengan sebutan sesat. Akhirnya dengan sedikit terpaksa aku
lekas berjalan mendekat ke tumpukan Al Quran.
“Hei apa kau dengar aku, hah?”
Memilih diam dari orang ini bukan pilihan yang baik. Di bagian
ini dia merasa tinggi dengan segala yang dikethuinya soal agama.
“Aku ini orang beriman yang tahu akan agamaku sendiri.
Agamaku bukan agama turunan. Karena aku tahu semua tentang agama maka aku yakin
jika aku adalah benar!”
“Kalau begitu kau tidak tahu agama.” Aku meradang.
Di kejauhan Al Quran terlihat begitu mesra dengan cahaya
lampu di kejuhan. Ia begitu lembut.
“Apa maksudmu berbicara seperti itu orang sesat. Kau
meremehkan pengetahuanku. Aku tak akan
disini kalau tidak paham.” Yayan membenarkan pecinya yang sering kali
turun karna sudah sempit. Peci itu tak pernah diganti sejak ia pulang dari
haji.
“Aku rasa kau salah mengartikan agama. Dia bukan soal
pengetahuan tetapi keyakinan!” Pandanganku masih tertuju pada Al Quran itu.
Akhirnya aku mengambil salah satunya dari tumpukan yang tak keruan.
“Kau tahu apa Min, mencoba mengajari… eeee lepaskan tangan kotormu dari benda suci
itu. Ayo lepaskan!”
Dia merebut benda itu dari tanganku.
“Apa itu punyamu?”
“Bukan, ini kepunyaan orang-orang beriman.”
“Berarti itu punyaku juga.” Aku merbut kembali. Seperti
kisah sebelumnya aku kemudian membuka beberapa halaman, lalu memandangnya.
“Sekali lagi aku katakan, kau orang sesat dan lepaskan
benda suci itu!”
“Ini akan menjadi suci bila kita baca.”
“Ya kau benar, tapi bukan orang sepertimu yang diharapkan
oleh tuhanku. Kau tak pernah bisa membaca benda itu, tanganmu hanya pantas memgang botol-botol
murahan!”
“Kau sudah jadi tuhan rupanya.”
“Apa kau bilang, dasar baji….. ya tuhan ampunilah
sahabatkuku yang satu ini. Dia mengatakan aku sama sepertimu. Sungguh aku tak
pernah berharap punya kawan seperti ini,
maafkan dia .” Yayan memandang kelangit-langit dengan wajah ketakutan. “Kau,
jangan pernah bilang kalau aku adalah tuhan.”
“Tapi….. sudahlah, tak ada gunannya aku berbicara
denganmu. Aku akan melihat ini saja. Sepertinya ini lebih berarti.” Aku agak
sedikit meledek Yayan. Al Quran itu kupegang dengan dua jari tangan kiri.
“Dasar tak punya otak, pantang mengangkat benda itu dengan
tangan kiri.”
“Oh, maaf.”
“Tuhan tak akan memaafkanmu!”
“Tahu dari mana?”
“Pengetahuanku lebih tinggi. Aku sudah berhaji. Aku lebih
dari kamu dalam hal apapun.”
“Kalau begitu ajari aku agar sama denganmu.”
“Percuma!”
“Tak ada yang percuma, ayo!” Aku memainkan Al Quran
seperti memainkan kertas buram. Itu sengaja kumainkan untuk memancing perhatian
dia.
“Letakan benda itu, atau aku yang akan….”
“Benda ini terlihat konyol bila di tumpuk begitu!”
“Akan lebih hancur jika ada di tanganmu.”
“Ini lebih baik daripada dilumuri debu, dan dibiarkan menumpuk
seperti bungkusan ikan. Aku akan membawanya untuk kuselami lebih dalam lagi.”
“Tak ada yang boleh membawanya. Selain orang yang sudah
berhaji!”
“Lalu untuk apa?”
“Itu hanya untuk suci sepertiku.”
“Kalau begitu aku akan menyucikan diri dengan membacanya.
Aku janji akan mempelajarinya dan menjadikan
diriku dekat dengan tuhan dan…”
“Tuhan tak akan sudi dekat denganmu!”
Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku seperti orang
paling kotor yang pernah ada.
“Dia dekat dengan siapa saja yang mau bertobat. Termasuk kita!” Aku menyanggah
kesombongannya.
“Haha, aku tiap waktu menghadapnya. Aku tak perlu tak usah
dibawa-bawa!
Ada tangan yang lebih pantas menyentuh benda ini daripada kau.” Dia merebut Al
Quran dari tanganku. Beberapa halaman yang kupegang sobek. Aku mendapatkan
sobekan itu.
“Ah dasar bodoh! Kitab ini jadi sobek gara-gara kamu.”
Aku tak tahu apakah Yayan benar-benar menyesali apa yang
telah terjadi atau memang dia hanya ingin terlihat lebih benar.
“Lalu untukku, kapan?” Aku membentaknya kali ini. “Apakah
mesti mati dahulu untuk bisa menyentuh dan membacanya seperti kebanyakaan
orang? Tuhan maha pengasih, ia mengasihi siapa saja yang mau…” Aku meninggalkan
tempat itu. Melangkah tepat di depan Yayan yang sedang tertunduk meratapi
kecerobohannya.
“Kau tak pantas untuk ini Min, pergilah keasalmu!”
***
Matahari muncul sedanya. Angin meninggalkan debu
dikaca-kaca rumah. Burung berkicauan dengan
nada sumbang. Masjid ini selalu lembab setiap kali aku minum sampai mabuk. Oleh
air mata, ludah, arak, dan kesombongan.
“Ya, aku telah salah jalan.” Pikirku. Aku tak berani lagi
menoleh ke arah bangunan itu. Dengan kepala tertunduk, aku mulai pergi. Tangan
kiriku menjambak- menjambak rambut yang di serang gatal entah dari mana. “Bis
mi la… ah apa ya aku tak bisa membacanya.” Sepanjang jalan pulang aku terus
membaca sobekan itu.
Di kejauhan, Yayan masih mengutuki dirinya sendiri.
Bebarapa kata yang tak seharusnya keluarpun ia paksakan terlontar. Ia begitu
kasihan.
Kejadian ini pasti akan terjadi lagi esok di jam dan waktu
yang sama. Itupun bila aku mabuk.*
2013