Kompas, 22 Juni 2014
Kuda Emas
oleh Tawakal M. Iqbal
Ciasahan,
hanya di Ciasahan orang tua dan anak-anak mudah sekali memercayai kisah, baik
sejarah ataupun bualan seorang Kakek kepada cucu-cucunya. Kisah bagaikan
sesuatu yang turun dari langit, semisal kitab, yang sakral dalam dada setiap
masyarakat. Kisah tentang perempuan yang hanyut di kali. Pasukan nasi menyerang
kampung. Masih banyak lagi. Kisah-kisah tersebut umumnya hanya membuat
anak-anak menjadi takut. Tetapi, kisah yang akan disampaikan, bagi anak kecil,
adalah kisah paling fenomenal di antara yang lainnya. Ini menyangkut banyak hal,
terutama misteri dan materi. Bagaimanapun kampungannya kampungku tetap saja
materi selalu dijadikan prioritas, mengapa anak-anak mau menurut pada orang tuanya
untuk bersekolah. Padahal jika dipikirkan, terlalu banyak waktu kami yang
terbuang hanya untuk diam di kelas, mendengarkan guru berceramah misalnya. Ada
banyak hal di kampungku yang sebetulnya sayang sekali dilewatkan, daripada
belajar di sekolah, tentunya. Sayang, anak-anak di kampungku tidak ada yang
berani menolak apalagi melanggar perintah orang tua.
Di
belakang rumahku menjulang gunung Tanjoleat. Cukup tinggi. Teman-teman seusiaku,
dahulu selalu berangan-angan agar dapat pergi ke puncak untuk dapat menyentuh
langit. Yang lainnya berharap bisa bertemu bintang film Bollywood, Amir Kahn
atau Amitha Bachan, di balik gunung itu. Mereka kira ada sebuah daratan bernama
India di sana. Penuh wanita cantik dengan sindur
di antara kedua alis matanya. Aku baru tahu setelah dewasa, kalau India itu
tidak pernah ada di balik gunung Tanjoleat. India berada di Asia bagian Barat
dekat dengan Pakistan dan Bangladesh.
Tanjoleat,
adalah gunung yang dipenuhi bebatuan. Sumber sejarah yang tak pernah terungkap,
tentang banyak hal. Persembunyian tentara lokal ketika melawan penjajah, kuburan
putri, batu yang mirip perahunya Nuh, sepasang telapak kaki, batu pistol, dan
batu ular. Sudah banyak peneliti yang mencoba peruntungannya untuk mengungkap
sejarah apa saja yang terpendam di sana. Tapi seringkali tak berhasil. Kecurigaanku
selalu timbul ketika para peneliti datang ke kampungku dengan alasan hendak
melakukan riset. Aku selalu tidak percaya. Pasti ada sesuatu yang berharga sedang
mereka incar, entah apa.
Beribu
monyet hidup di sana. Babi hutan, kelalawar, dan harimau kumbang yang mendiami
goa-goa di sela-sela tumpukan batu. Konon, kuda emas juga hidup di gunung itu
dan setiap Kamis malam, tepat pukul 12.00, kuda itu selalu terbang menuju
Tenggara, membentangkan sayap, mengibas-ibaskan ekornya. Kilau keemasan
memancar ke mana-mana. Kalau kau seorang penyuka bintang dan seringkali takjub
ketika melihat bintang jatuh atau himpunan kunang-kunang terbang ke arahmu,
kata kekek, kuda emas lebih indah dari itu. Terdengar seperti dongeng memang.
Tetapi, ini terjadi di kampung kami, Ciasahan. Kakek sendiri yang
menceritakannya padaku. Suatu sore, ketika hujan deras dan angin pegunungan
terasa menusuk.
Jarang
sekali ada orang yang melihat langsung kejadian itu. Aku tahu itu lewat
cerita-cerita dari teman dan dari Kakekku sendiri. Katanya, hanya orang-orang
yang beriman dan memiliki hati cemerlanglah yang dapat melihat kuda itu. Aku
pikir hatiku masih cemerlang, sholat, dan hapalan ngajiku tidak ada masalah.
Tapi sampai sekarangpun aku belum juga melihat kuda itu terbang di atas rumah.
Ini sungguh aneh.
Anak-anak
di kampungku, seringkali memimpikan untuk, setidaknya pernah sekali saja
melihat kuda itu terbang di atas rumah-rumah dan berharap ia mengeluarkan sesuatu
dari pantatnya. Tentu saja orang yang tidak tahu mengenai akan hal ini menganggap
harapan itu adalah harapan paling bodoh. Tapi tidak bagi kami. Setiap seusai
sholat, kami selalu berdoa meminta hal itu terjadi.
Aku
jadi teringat kisah dahulu. Kau mungkin tidak akan percaya, ketika zaman sekolah
dasar dulu, kelas mata pelajaran Bahasa Indonesia tepatnya, saat ibu guru
bertanya perihal cita-cita dewasa nanti, teman-teman sekelas mengatakan, “menjadi
penggembala kuda emas”. Dan kau tahu, semua murid mengatakan kalimat yang sama.
Ibu guru geram mendengarnya.
“Kalian
tidak mengerti apa artinya cita-cita!”
Kami
hanya menunduk takut. Baginya cita-cita kami tak memiliki arti. Cita-cita kami
hanyalah khayalan anak-anak yang terbuai oleh dongeng-dongeng murahan. Ibu guru
tidak mengerti tentang apa yang menjadi keinginan kami. Bagi anak seusia kami
itu adalah hal yang luar biasa. Tapi sayangnya hingga kini tak ada satupun yang
berhasil mengejar itu.
Memiliki
kuda emas merupakan hal paling menyenangkan. Bayangkan saja, kau tidak perlu bangun
pagi untuk bekerja. Lembur sampai pagi untuk menghasilkan uang tambahan. Tidak
perlu melakukan hal-hal konyol semacam menunggu uang bulanan atau meminjam uang
ke tetangga untuk resiko sehari-hari. Kau hanya tinggal beribadah, berdoa, dan
menunggu kotoran yang keluar dari pantat kuda. Kotoran itu dalam sekejap mata
akan menjadi emas murni 14 karat, berbentuk oval. Harga emas itu cukup untuk
melakukan perjalanan mengelilingi dunia setiap Minggunya. Mentraktir seluruh
warga kampung selama sebulan penuh. Coba bayangkan, itu luar biasa bukan?
Cita-cita
kami sempat sirna ketika beberapa teman bercerita, “kuda emas itu tidak makan
rumput, tapi makan perempuan.” Teman yang satunya bilang, “kuda itu bukan makan
perempuan, tapi makan anak kecil yang pipis di luar rumah”.
Yang lainnya
bilang “makan batu”.
“Pohon mahoni.”
“Ikan mas!”
“Karang.”
“Durian.”
“Kalian tahu
dari siapa?
Semuanya
menjawab, “Kakek!”
“Memang Kakekmu
tahu dari mana?”.
Mereka menjawab,
“dari Kakeknya Kakek”.
Aku
yang masih bodoh, kadangkala langsung percaya terhadap apa yang teman-teman
katakan.
***
Suatu
malam ketika aku terbangun karena merasa kebelet,
dan itu sudah tidak dapat ditahan lagi. Aku
turun dari ranjang dan segera keluar rumah. Di langit kulihat ada serbuk-serbuk
berkilauan dan aku yakin itu bukan kunang-kunang. Suara rengeh terdengar dari
jauh. Aku teringat perkataan teman bahwa kuda emas adalah pemakan anak kecil. Aku
langsung lari ke dalam rumah dan langsung mengunci pintu. Malam itu terasa
mencekam sebelum akhirya aku memilih pipis di celana. Belum ada kamar mandi di
rumahku waktu itu. Untuk pipis saja, aku mesti keluar ke pancuran belakang rumah.
Ibuku
memarahiku karena pipis di celana. Kakek datang padaku dan menanyakan alasan mengapa
aku ngompol. Aku bersikeras
mengatakan kalau aku tidak ngompol. Aku hanya pipis. Tepatnya memilih pipis.
Aku
mengatakan hal yang sebenarnya pada Kakek tentang serbuk emas dan suara rengehan
kuda dari Timur sana. Ibu diam. Senyum semringah muncul dari wajah Kakek.
“Akhirnya kuda
itu memilih kamu, nak.”
“Maksudnya?”
“Ya, ia akan
sering terbang di atas rumah kita untuk menjaga kita?”
“Aku tidak
mengerti, kek.”
“Nanti kau akan
mengerti.”
Konon
kuda itu terbang menuju tempat-tempat yang tak pernah diketahui.
“Kuda
emas itu menuju gunung Pongkor untuk menemui kekasihnya.” Kata Kakek. Percintaan antar kedua kuda itu
seringkali ditandai dengan purnama yang sempurna. Lalu cahaya yang dipancarkan
bulan akan memantul dan mengubah warna putih menjadi kilau keemasan.
“Itu yang
membuat gunung Pongkor kaya akan emasnya.”
“Aku tidak mengerti.”
“Emas yang
dijadikan orang-orang sebagai perhiasan, itu adalah telur kuda emas.”
“Hah?”
“Kuda itu tidak
beranak, tetapi bertelur. Butuh berjuta-juta tahun untuk mebuat telur-telur itu
menetas,” ungkap Kakek,
Sungguh
tragis ketika tahu, membutuhkan waktu berjuta-juta tahun untuk menelurkan emas
sebanyak itu. Dan di tempat kuda emas bertelur telah dibangun perusahaan
tambang besar. Kau tahu, sejak kejadian aku melihat kuda itu terbang dari Tanjoleat
menuju Pongkor, kuda itu tak pernah terlihat lagi. Kakek bilang, kuda itu telah
terbang dari Papua ke Maluku, lalu ke Kalimantan, Sumatera sebelum akhirnya ke Tanjoleat,
kampung kami. Aku khawatir kuda itu kini telah terbang menuju negara lain untuk
mencari sarang baru tempatnya bertelur. Sebab di tempat kami, perburuan emas
selalu panas. Lagipula, pohon-pohon di Tanjoleat sekarag telah habis. Banyak
kedapatan hewan-hewan liar masuk kampung kami. Sekawanan monyet jarang lagi
terlihat memanjat-manjat batuan cadas di Tanjoleat. Kini seringkali sepi.
“Bagaimanapun,
kuda emas juga adalah seekor hewan. Sama seperti mahluk hidup lainnya. Dia
ingin melihat anak-anaknya tumbuh besar sebelum waktunya di bumi habis.” Ucap Kakek.
Dan
soal menjadi penggembala kuda emas, hal itu sudah lama hilang di benakku. Aku
kini lebih tertarik menentang pertambangan emas ketimbang memburu emasnya.*
0 komentar:
Posting Komentar