Telepon
Genggam
Oleh
: Tawakal M Iqbal
Selasa lalu, sore tepatnya,
sepulang menjadi juri Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Kota
Administrasi Jakarta Selatan di SMA 3 Jakarta Jalan Setiabudi. Saya pulang ke
Bogor menggunakan Kereta Api. Tepat pukul 17.00 WIB saya menuju stasiun
Sudirman. Tetiba di sana, saya merasa
kaget. Seh! Mungkin itu yang akan diucapkan oleh orang-orang, yang memilih
menjauhkan rutinitasnya dari Jakarta. Semua peron penuh sesak oleh penumpang.
Kereta-kereta yang lewat tidak lagi mampu mengangkut penumpang dari peron
tempat saya menunggu. Tidak ada ruang lagi di gerbong-gerbong kereta yang lewat.
Saya memutuskan untuk duduk (istirahat
sebentar) menunggu kereta selanjutnya tiba. Di samping, duduk seorang perempuan seusia saya, sedang asik
memainkan telepon genggam.
Ada banyak orang di peron. Tetapi
yang terlihat, hampir semuanya tidak mencoba untuk saling mengenal, saling
sapa, bahkan bercakap. Semuanya berfokus pada satu benda kecil yang menyala,
telepon genggam. Saya Tiba-tiba merasa terasing di sebuah peron yang sangat sesak.
Pikiran tentang Jakarta, sebuah kota besar yang penduduknya serba tahu dan
pandai bercakap –umumnya soal kehidupan, dalam sekejap hilang. Saya tidak
mendapatkan teman baru untuk bercakap-cakap di sana.
Kereta selanjutnya tiba. Penumpang
masih juga sesak. Wanita di samping saya masih sibuk dengan telepon
genggammnya. Seh. Padahal dorongan dalam diri saya untuk bercerita sangat kuat.
Tiba-tiba saja saya teringat Heidegger seorang filsuf dari Jerman, yang mengatakan,
“bercakap itu manusiawi”. Baginya bercakap adalah aktivitas fundamental yang menjadi cara bagi orang-orang untuk
mengungkapkan pengalamannya, yakni “mengada-bersama” satu sama lain. Bercakap
merupakan kebutuhan manusia. Tetapi hal itu tidak terjadi di peron Sudirman.
Bahkan situasi seperti ini sudah mulai sering saya temukan di ruang-ruang
publik lainnya seperti taman, rumah sakit, dan gedung pemerintahan. Apakah
semua orang lupa akan sifatnya sebagai manusia? Hubungan antara manusia dengan
manusia kini seakan sulit terbangun. Saya mencoba berpikir ulang, tentang apa
yang menjadi pikiran Heidegger.
Saya menganggap, barangkali yang
dimaksudkan Heidegger adalah ini. “Manusia memiliki rasa ingin yang tidak
terbendung dalam mengungkap rasa atau pengalamannya”. Jadi, manusia seringkali
menginginkan apa yang menjadi pengalamannya dapat diketahui oleh banyak orang. Karena
itu, bercakap yang menurut Heidegger adalah sifat manusia dapat dibenarkan.
Meskipun dalam kasus ini yang dibicarakan bukan lagi soal kualitas bercakap, melainkan
kuantitas. Seberapa banyak orang yang tahu tentang kita bukan seberapa banyak
orang yang menanggapi pengalaman kita, dirasakan kini memiliki nilai lebih. Sederhananya
dengan bercakap secara langsung, mungkin, hanya akan ada satu atau dua orang
yang tahu. Tetapi bila bercakap atau mengungkap diri melalui media sosial
semacam twitter, facebook, bbm, path barangkali akan sampai beribu-ribu
orang yang tahu. Pertanyaannya, untuk apa? Eksistensi diri. Ya, manusia
membutuhkan eksistensi diri untuk sekadar merasakan bahwa ia ada dalam suatu
sistem kehidupan. Tetapi, apakah eksistensi harus melupakan orang-orang di
sekitarnya?
Ada dua dunia yang sedang berjalan
beriring di peron itu. Dunia langsung dan maya. Saya berada di dunia langsung,
sementara sisanya sekitar 98% penumpang sedang berada di dunia maya. Heidegger
benar, bercakap merupakan kebutuhan manusia. Bercakap itu menjadi menyenangkan
bila kita berada pada satu dunia yang sama dengan lainnya. Bercakap langsung
menjadikan manusia banyak tahu dan mengerti soal situasi yang dialami ketika
itu. Sementara bercakap tidak langsung hanya membuat manusia tidak sabar dan
cepat sekali marah, atau bahkan menjadi gagap. Hal ini terjadi disebabkan keliaran
pikiran yang sejatinya dimiliki manusia, hanya bergantung pada koneksi internet
yang seringkali lemot. Sementara itu mulut
dan telingaya nya seringkali dibiarkan tertutup.
***
Saya baru tahu setelah sampai di
rumah dan mencoba masuk ke dunia lainnya (internet) yang membuat asing, lewat
komputer jinjing. Ternyata wanita di peron yang duduk di samping saya adalah
teman mengobrol yang cukup akrab di media sosial facebook. Saya tahu dari update
terakhir status facebook-nya dan
menandai nama saya tentang situasi yang terjadi di peron Sudirman. Wah..*
2014
2014
0 komentar:
Posting Komentar