Main Menu

Jumat, 11 Juli 2014

Telepon Genggam



Telepon Genggam
Oleh : Tawakal M Iqbal

Selasa lalu, sore tepatnya, sepulang menjadi juri Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Kota Administrasi Jakarta Selatan di SMA 3 Jakarta Jalan Setiabudi. Saya pulang ke Bogor menggunakan Kereta Api. Tepat pukul 17.00 WIB saya menuju stasiun Sudirman.  Tetiba di sana, saya merasa kaget. Seh! Mungkin itu yang akan diucapkan oleh orang-orang, yang memilih menjauhkan rutinitasnya dari Jakarta. Semua peron penuh sesak oleh penumpang. Kereta-kereta yang lewat tidak lagi mampu mengangkut penumpang dari peron tempat saya menunggu. Tidak ada ruang lagi di gerbong-gerbong kereta yang lewat. Saya memutuskan untuk  duduk (istirahat sebentar) menunggu kereta selanjutnya tiba. Di samping,  duduk seorang perempuan seusia saya, sedang asik memainkan telepon genggam.

Ada banyak orang di peron. Tetapi yang terlihat, hampir semuanya tidak mencoba untuk saling mengenal, saling sapa, bahkan bercakap. Semuanya berfokus pada satu benda kecil yang menyala, telepon genggam. Saya Tiba-tiba merasa terasing di sebuah peron yang sangat sesak. Pikiran tentang Jakarta, sebuah kota besar yang penduduknya serba tahu dan pandai bercakap –umumnya soal kehidupan, dalam sekejap hilang. Saya tidak mendapatkan teman baru untuk bercakap-cakap di sana.

Kereta selanjutnya tiba. Penumpang masih juga sesak. Wanita di samping saya masih sibuk dengan telepon genggammnya. Seh. Padahal dorongan dalam diri saya untuk bercerita sangat kuat. Tiba-tiba saja saya teringat Heidegger seorang filsuf dari Jerman, yang mengatakan, “bercakap itu manusiawi”. Baginya bercakap adalah aktivitas fundamental  yang menjadi cara bagi orang-orang untuk mengungkapkan pengalamannya, yakni “mengada-bersama” satu sama lain. Bercakap merupakan kebutuhan manusia. Tetapi hal itu tidak terjadi di peron Sudirman. Bahkan situasi seperti ini sudah mulai sering saya temukan di ruang-ruang publik lainnya seperti taman, rumah sakit, dan gedung pemerintahan. Apakah semua orang lupa akan sifatnya sebagai manusia? Hubungan antara manusia dengan manusia kini seakan sulit terbangun. Saya mencoba berpikir ulang, tentang apa yang menjadi pikiran Heidegger.

Saya menganggap, barangkali yang dimaksudkan Heidegger adalah ini. “Manusia memiliki rasa ingin yang tidak terbendung dalam mengungkap rasa atau pengalamannya”. Jadi, manusia seringkali menginginkan apa yang menjadi pengalamannya dapat diketahui oleh banyak orang. Karena itu, bercakap yang menurut Heidegger adalah sifat manusia dapat dibenarkan. Meskipun dalam kasus ini yang dibicarakan bukan lagi soal kualitas bercakap, melainkan kuantitas. Seberapa banyak orang yang tahu tentang kita bukan seberapa banyak orang yang menanggapi pengalaman kita, dirasakan kini memiliki nilai lebih. Sederhananya dengan bercakap secara langsung, mungkin, hanya akan ada satu atau dua orang yang tahu. Tetapi bila bercakap atau mengungkap diri melalui media sosial semacam twitter, facebook, bbm, path barangkali akan sampai beribu-ribu orang yang tahu. Pertanyaannya, untuk apa? Eksistensi diri. Ya, manusia membutuhkan eksistensi diri untuk sekadar merasakan bahwa ia ada dalam suatu sistem kehidupan. Tetapi, apakah eksistensi harus melupakan orang-orang di sekitarnya?

Ada dua dunia yang sedang berjalan beriring di peron itu. Dunia langsung dan maya. Saya berada di dunia langsung, sementara sisanya sekitar 98% penumpang sedang berada di dunia maya. Heidegger benar, bercakap merupakan kebutuhan manusia. Bercakap itu menjadi menyenangkan bila kita berada pada satu dunia yang sama dengan lainnya. Bercakap langsung menjadikan manusia banyak tahu dan mengerti soal situasi yang dialami ketika itu. Sementara bercakap tidak langsung hanya membuat manusia tidak sabar dan cepat sekali marah, atau bahkan menjadi gagap. Hal ini terjadi disebabkan keliaran pikiran yang sejatinya dimiliki manusia, hanya bergantung pada koneksi internet yang seringkali lemot. Sementara itu mulut dan telingaya nya seringkali dibiarkan tertutup.

***
Saya baru tahu setelah sampai di rumah dan mencoba masuk ke dunia lainnya (internet) yang membuat asing, lewat komputer jinjing. Ternyata wanita di peron yang duduk di samping saya adalah teman mengobrol yang cukup akrab di media sosial facebook. Saya tahu dari update terakhir status facebook-nya dan menandai nama saya tentang situasi yang terjadi di peron Sudirman. Wah..*

2014

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.