Main Menu

Giusto odio dignissimos Omnis dolor repellendus Olimpedit quo minus Itaque earum rerum

Minggu, 15 Maret 2015


(KOMPAS, 15/3/2015)

TEPI SHIRE

Musim gugur tiba. Saatnya bekerja di luar ruang. Kantor-kantor di tempatku bekerja memiliki kebiasaan aneh, boleh membawa pekerjaan ke manapun yang kita suka saat musim gugur. Pekerja di sini diberikan keleluasaan untuk menikmati musim gugur selama tiga bulan penuh. Tetapi tetap saja kerjaan yang diberikan luar biasa banyak. Aku biasanya memilih sungai Shire untuk menghabiskan musim gugur bersama setumpuk pekerjaan yang mesti segera diselesaikan. Di sungai ini terdapat taman sepanjang kiri-kanan jalur sungai. Pada saatnya nanti di puncak musim gugur, dedaunannya akan jatuh beterbangan langsung ke muka sungai. Selain itu, di sungai ini jarang sekali ada anak-anak. Orang tua melarang anaknya untuk berlibur ke tempat ini. Sebab sebagian dari mereka percaya bahwa Shire adalah tempat mistis yang selalu meminta korban. Aku sendiri tidak percaya terhadap hal itu. Ini adalah musim gugur yang kedelapan bagiku, dan hingga kini aku masih ada. Jadi lupakan soal Shire yang sering memakan korban.
Angin berembus kencang sekali, mengibaskan mantelku yang beberapa kancingnya sudah rusak. Sungai mengalir begitu deras dan sesekali menciptakan gelombang pengusir burung-burung dari tubuhnya. Di seberang tempatku duduk, penjaga kebersihan terlihat sibuk menyapu dedaunan di taman. Tubuhnya bungkuk. Kulitnya hitam. Tampaknya ia bukan berasal dari tanah ini.
Aku menyukai tempat ini karena di antara yang lain, Shire adalah sungai panjang yang menyimpan banyak sejarah. Meskipun umumnya tentang kekejaman perang. Di sungai ini ribuan manusia korban perang pernah dihanyutkan. Kala itu bau amis darah, air merah, dan kicauan burung bangkai menjadi sebuah fenomena yang biasa. Raja Shire V pernah digantung di bawah jembatan Sulera oleh bangsa Sinewood. Sisa-sisa perang masih dapat kita temukan di museum Shirewar yang terletak di hulu sungai. Bahkan beberapa tahun lalu ada sepasang pengantin yang sedang berfoto mesra, dengan sangat tiba-tiba terbunuh. Mereka tanpa sengaja menginjak ranjau darat yang masih tertanam dekat pohon maple, di km 8. Akibat peristiwa itu Shire ditutup untuk sementara waktu.
“Untung saja bukan musim gugur”, pikirku. Aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan bila peristiwa itu terjadi di musim gugur. Sejak peristiwa itu, Shire menjadi sangat sepi. Tetapi entah mengapa aku merasa jatuh cinta dengan sungai ini. Aku dan sejarah tentang perang seolah memiliki ikatan batin kuat. Meskipun aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya hidup di zaman perang. 
Perang memang selalu menyisakan kepedihan. Meski begitu, memenangkan perang selalu menjadi impian banyak orang. Kemenangan dirasa lebih nikmat. Meski sesudahnya, kepedihan tengah menanti. Sebab kepedihan setelah perang tidak akan pernah dikenang meski tengah dirasakan. Tetapi kemenangan, selamanya akan terus dikenang. Tiba-tiba saja ingatan mengenai pernyataan yang tertera dalam buku sejarah yang pernah kubaca itu muncul. Tak satupun orang di Woodyshire memungkiri itu. Meskipun kini kondisi mereka sedang dalam keadaan pedih. Kenangan terhadap kemenangan peranglah yang mampu membuat masyarakat Woodyshire tetap kuat.
Kursi kegemaranku adalah nomor C38, tempat ini berada di taman kanan jalur sungai. Sangat strategis aku pikir. Dari tempat ini, aku bisa melihat sekitar tanpa harus mendorong-dorongkan kepala ke depan. Atau melakukan kegiatan lain yang membuang banyak stamina. Kursi ini sangat nyaman. Aku kira seperti itu.
Ada banyak pekerjaan yang mesti dikerjakan. Aku memulainya dari akuntabilia.

“Kehidupan memang memuakkan!”

Tiba-tiba saja tukang sapu itu berteriak pada pohon di depannya. Sungai kali ini sangat sepi. Sebab masih terlalu pagi tampaknya untuk orang-orang datang kemari hanya sekadar mengobrol dan mengambil gambar. Biasanya siang menjelang sore sungai ini mulai ramai. Di sungai ini jelas hanya ada kami berdua. Aku dan tukang sapu itu.
Aku memilih untuk tidak peduli terhadap tingkah tukang sapu itu. Di tanah ini, aku diajarkan untuk mulai tidak peduli terhadap sesuatu hal yang bisa membuat rugi. Dalam posisi ini aku akan dirugikan bila aku memedulikannya. Pekerjaanku akan abai dan dia akan merasa menang, sebab telah mampu menarik perhatian. “Rugi!”

“Kehidupan itu memuakkan!”

Ia berteriak lagi. Kali ini lebih keras. Sapu di tangannya dipatahkan kemudian dilemparkan ke sungai. Tangannya terlihat dikepal. Aku mencoba untuk tidak memerhatikan. Tapi tetap saja rasa penasaran selalu mendorongku untuk melirik ke arahnya. “Sial!” kataku dalam hati.
Aku mulai terganggu dengan tingkahnya yang aneh. Kali ini pohon maple dipukul-pukul menggunakan tangannya hingga beberapa rantingnya patah. Ia terlihat tidak merasakan sakit, meskipun tangannya mulai berdarah.
Angin berembus kencang menerpa kami. Ia agak sedikit goyah. Tiba-tiba topi yang dikenakannya terbang dan mendarat di muka sungai. Daun-daun berterbangan ke arahku. Kepala orang itu tampak seperti terluka. Banyak bekas jahitan di kepalanya, mirip gumpalan darah yang membusuk.

“Tanah ini memuakkan!”

Sekali lagi ia berteriak. Dua kali, tiga kali dan berkali-kali.
Aku jelas sekali sangat terganggu dengan itu. Aku mulai menenangkan diri. Tidak mungkin mengerjakan kalkulasi yang amat rumit dalam kondisi seperti ini. Aku buka bekal yang dibawa dari rumah. Roti, sayur, saus, mayones dan daging sapi. Bahan-bahan itu aku susun menjadi semacam hamburger.
Orang itu melompat-lompat menabrakan diri ke pohon. Kemudian ia menarik-narik pakaiannya hingga sobek. Aku tak mengerti mengapa ia melakukan hal itu. Ia teriakan kata itu lagi. Rasanya aku ingin mendekat dan menanyakan banyak hal, tapi hatiku menginginkan agar aku tidak peduli. Lagi untuk mendekat ke sana rasanya tidak mungkin. Kami dipisahkan sungai. Untuk menyeberang ke tempat tukang sapu itu aku mesti berjalan ke hulu kemudian menyebrang menggunakan jembatan. Tetapi untuk sampai ke seberang memerlukan 1 jam perjalanan. Biasanya pengunjung Shire akan menggunakan sampan untuk menyeberang. Tetapi ini Jumat, tukang sampan tidak bekerja di hari Jumat.

“Aku muak dengan ini!”

Pohon maple itu kembali dipukulnya. Bahkan kali ini menggunakan kepala. Aku tak mungkin melompat ke sungai itu dan menolong atau setidaknya menghentikan tingkahnya. Tapi pekerjaanku menumpuk dan hari ini mesti kuselesaikan. Aku tidak mungkin bekerja dengan pakaian basah. Sebetulnya aku bisa saja telanjang dan langsung menceburkan diri ke sungai, tapi apa kata orang nanti. Kemaluanku akan terlihat dan aku tidak ingin hal itu sampai terjadi. Aku memilih mendengar musik, barangkali dengan begitu aku jadi tidak akan peduli lagi dengan tingkahnya.

“Semuanya keparat!”

Di benturan yang entah ke berapa, dahinya sobek. Pipinya pecah. Giginya remuk. Dalam sekejap wajahnya dipenuhi darah. Aku mulai tak nyaman duduk. “Ini sangat keterlaluan!”
Aku tidak diajarkan peduli di tanah ini, tetapi aku akan sangat bersalah bila tidak melakukan tindakan. Aku mulai berdiri, tapi angka-angka ini akhirnya membawaku kembali. Delapan tahun tampaknya sudah cukup berhasil mengubah karakter seseorang sepertiku.
Kadang di tempat tinggal, aku merasa tidak mengenal siapa tetanggaku karena satu dan lain hal. Kehidupan di sini begitu soliter.
Roti yang sudah dibuat sama sekali tidak kusentuh. Aku mulai mual melihat kondisi orang di depanku yang begitu mengerikan. Pekerjaanku akhirnya kumasukan ke dalam tas. Aku memilih untuk tidak melakukan apa-apa, dengan begini tidak ada dari kami yang dirugikan ataupun sebaliknya.

“Mante!”
“Kekak!”
“Rangpe!”
“Namjaha!”
“Pise!”
“Kitsa!”
“Nuhbu!”

Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Lalu tersadar dengan kondisi Shire yang maha luas. Kemudian aku lihat sekitar, khawatir ia sedang memanggil-manggil temannya. Suaranya tidak terdengar jelas. Rasa sakit membuat suaranya menjadi bergetar.
Tiba-tiba saja bayanganku terbang jauh ke kampung, di Priangan sana. Orang itu seumur kakekku. Kakek pernah bercerita padaku tentang dampak yang dihadirkan oleh perang.

 “Mereka yang selamat dari perang, akan kembali, namun menjadi asing.”

Ketika muda ia pernah mengalami kenangan pahit, bersama teman lainnya menjadi buronan perang. Teman-temannya tertangkap oleh musuh. Kata kakek hanya ia yang selamat.
“Hingga kini tak seorangpun yang masih hidup. Semua dibunuh dengan cara yang mengerikan. Ada yang dikirim ke Roma untuk dijadikan santapan singa di Colosseum. Ada yang dikirim ke hutan Papua untuk diasingkan. Kemudian banyak dari mereka tidak tahan dan memilih menyantap dirinya sendiri.” Kakek bercerita dengan sangat serius.
Aku selalu bergidik bila kakek sudah mulai menceritakan itu. Meskipun kakek selamat, tapi ia tidak dalam kondsi yang sempurna. Tangan kanannya hilang. Ini dilakukannya sebagai upaya untuk melarikan diri dari musuh. Tangan kakek ketika itu diikat menggunakan rotan. Ia memotong tangannya sendiri dengan golok. Bila tidak begitu, kakek tidak akan pernah bisa lepas.

Kakek bilang, “butuh pengorbanan untuk terlepas dari beban yang diderita.”

Cerita lainnya yang paling aku benci dari kakek adalah ketika bercerita tentang penyiksaan yang dilakukan musuh pada temannya di sungai Cidurian. Wajah temannya digosok-gosokkan ke pohon berenuk hingga kulitnya terkelupas dan dipenuhi darah. Setelah wajahnya benar-benar merah, musuh akan menceburkannya ke kali hingga darahnya hilang. Kemudian setelah itu digosokkan kembali wajah temannya ke pohon. Tidak tahu apakah temannya itu tewas atau selamat. Kakek sangat tersiksa mengenang itu.

“Bangsat!”

Orang itu beteriak dengan keras. Aku tidak tahu ia mengumpat siapa. Tapi tatapannya tertuju padaku. Aku gemetar. Sesekali aku membetulkan earphone dan mencoba bersikap tenang. Aku lupakan sejenak tingkahnya dan mencoba mengamati kupu-kupu yang hinggap di bunga dekat tempatku duduk. Semoga saja ia menganggap kalau aku tidak tahu tentang apa yang sedang dilakukannya sedari tadi.
Aku perhatikan kupu-kupu itu secara mendalam. “Sial!” Kupu-kupu itu terbang entah ke mana. Aku bergegas merogoh  kembali berkas-berkas pekerjaanku di dalam tas. Kubuka satu demi satu. Tapi benar-benar sial. Orang itu terus menerus menatapku. Aku dalam keadaan tertekan. Kakiku bergetar, keringat mulai mengalir. Ini kali pertama aku duduk di sungai Shire saat musim gugur dan tubuhku tak henti-hentinya mengalirkan keringat. Mata orang itu begitu tajam. Wajahnya penuh darah, hitam, bercampur serat-serat pohon.

“Apa yang sebetulnya ia inginkan?”

Sesekali aku melirik ke arahnya. Ia terlihat mundur beberapa langkah.
“Gawat, ia sedang mengambil ancang-ancang untuk berlari.”

Aku hendak pergi, tetapi kaki begitu sulit kugerakan. Orang itu berlari dan menceburkan diri.

“Mengapa?”

Darah dari kepalaku mulai turun. Ia biarkan tubuhnya hanyut, lalu tiba-tiba kembali lagi naik ke daratan, menatapku kembali dengan acungan telunjuk mengarah lurus kepadaku. Kembali nama-nama aneh mulai disebut-sebutkan. Ia lari dengan kencang lalu melompat ke sungai lagi. Kali ini ia biarkan tubuhnya hanyut mengikuti sungai, tetapi tatapan tajamnya tidak lepas tertuju padaku.
Angin mulai berhenti berembus. Pohon maple di seberang itu penuh darah. Langit mulai meniru warna darahnya. Aku mulai mengemasi barang-barangku, untuk bersegera pulang. Tapi kakiku sulit untuk kupakai berjalan.

2014

Rabu, 17 September 2014

Menyuarakan Bunyi
Oleh Iqbal Tawakal
Beberapa hari yang lalu ketika sedang membaca buku di taman kota, seseorang yang duduk di samping saya tiba-tiba berteriak pada pengendara sepeda motor yang lewat. “Pelan-pelan membunyikan gas motornya!” Pada kasus yang lain saya pernah mendengar seseorang berbicara di perpustakaan kepada rekannya. “Dilarang membunyikan suara ponsel!” Kasus lainnya pernah saya temukan di pelataran masjid kampung, ketika petugas jaga tiba-tiba bergegas mendekat lalu kemudian berbisik pada saya sesaat sebelum salat dimulai. “Jangan bersuara bentar lagi salat dimulai!” katanya.  Bunyi dan suara, keduanya menjadi seringkali kita temukan dalam praktik kesehariannya.
Barangkali sekilas tidak ada masalah dengan kasus di atas. Adik saya yang berumur 15 tahun beberapa kali bertanya mengenai pengertian bunyi dan suara. “Sebetulnya apa bedanya bunyi dan suara itu, kak?”
Di buku musik karangan Anjani “Apa Itu Musik?” yang saya temukan di perpustakaan milik teman, dijelaskan bahwa bunyi dan suara memiliki arti dan makna berbeda. Bunyi merupakan sesuatu yang kita dengar dan tertangkap oleh telinga tanpa disengaja. Bunyi yang dihasilkan oleh angin ketika bergesekkan dengan dahan pohon, misalnya. Atau bunyi riuh air terjun yang menghantam genangan air atau bebatuan di bawahnya. Sedangkan suara merupakan bunyi yang tercipta secara disengaja. Seperti bunyi dari gitar yang dihasilkan oleh pemusik melalui senar yang dipetiknya. Atau bunyi ketukan bambu yang dipukul menggunakan batu.
Bunyi bisa berubah menjadi suara apabila bunyi tersebut dihasilkan dengan secara sengaja. Seperti kita ketahui bunyi yang dihasilkan oleh suling merupakan suara yang disengaja. Jelas sekali, udara yang ditiupkan manusia ke lubang suling akan mencari jalan keluar. Ketika badan suling yang terdapat beberapa lubang sebagiannya ditutup, maka dengan seketika alunan yang begitu merdu akan muncul. Proses ini terjadi karena adanya tekanan udara yang terkumpul dalam ruang, kemudian mencari beberapa lubang untuk keluar. Hal tersebut merupakan bunyi yang disengaja.
Contoh lainnya dari bunyi yang diubah menjadi suara adalah bunyi air jatuh. Berbeda dengan air terjun yang jatuh dari ketinggian secara alami, air yang jatuh  dari genting misalnya. Ketika di bawahnya kita simpan panci atau ember sebagai alat penadah, lalu benda penadah tersebut kita goyangkan sedikit demi sedikit sehingga hantaman air menjadi tidak teratur, itu akan menghasilkan bunyi, itu layak kita sebut sebagai suara.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dijelaskan bahwa bunyi adalah n 1 sesuatu yang terdengar (didengar) atau ditangkap oleh telinga. 2 nada; laras (pada alat musik atau nyanyian dsb). 3 Ling kesan pada pusat saraf sebagai akibat getaran gendangan telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. 4 ucapan apa yang tertulis (surat, huruf, dsb).
Sedang suara adalah n 1 bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia (seperti pada waktu bercakap-cakap, menyanyi, tertawa, dan menangis) 2 bunyi binatang, alat perkakas, dsb. 3 ucapan (perkataan). 4 bunyi bahasa (bunyi ujar) 5 sesuatu yang dianggap sebagai perkataan (untuk melahirkan pikiran, perasaan, dsb) 6 ki pendapat 7 ki pernyataan 8 ki dukungan (dl pemilihan).

Tidak dijelaskan apakah bunyi dan suara dihasilkan secara sengaja atau tidak, tetapi ada beberapa yang dapat kita ambil secara garis besar dari artian KBBI tersebut. Contohnya pengertian yang menjelaskan bahwa suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia (bercakap-cakap). Ini jelas sekali, bahwa bunyi yang dihasilkan berawal dari proses kesengajaan. Tetapi apa yang dibahas di awal mengenai bunyi sebagai sesuatu yang dihasilkan tanpa disengaja, tidak sejalan dengan apa yang tercantum dalam KBBI. Penjelasan bahwa bunyi adalah 1 sesuatu yang terdengar (didengar) atau ditangkap oleh telinga. 2 nada; laras (pada alat musik atau nyanyian dsb) tidak menggambarkan bahwa bunyi dihasilkan secara tidak sengaja.


Ada (didengar) dan alat musik di sana yang menjadi lawan dari pengertian bunyi sebagai sesuatu yang dhasilkan tanpa disengaja. Meskipun dalam KBBI dijelaskan bahwa bunyi dan suara masih memiliki kedekatan dari segi makna dan penggunaannya. Hal tersebut sebaiknya menjadi perhatian khusus, sebab bunyi dan suara sejatinya memiliki tingkatan yang berbeda. Dan tidak mungkin akan sama.*
KONSUMERISME
oleh Iqbal Tawakal

Siapa yang berani menyangkal pernyataan mengenai manusia adalah makhluk sosial yang terkungkung dalam sistem aturan masyarakat atau zaman? Tentu jika ada yang mengambil sikap tersebut, tampaknya ada sedikit masalah perihal kepribadian atau mungkin alam bawah sadarnya sebagai manusia tengah terguncang. Sedikit sekali manusia yang mampu melakukan kegiatan secara soliter. Makhluk komunal yang diikat oleh aturan yang disepakati bersama. Barangkali kalimat itu mesti sesegera mungkin disematkan pada manusia. Bukan hanya sebagai penanda, tetapi sebagai konsep dasar manusia ketika bergerak, berpikir, bahkan diam sekalipun.
Maslow, berasumsi bahwa manusia sejatinya merupakan makhluk yang baik, sehingga manusia memiliki hak untuk merealisasikan jati dirinya agar mencapai self actualization. Manusia berupaya memenuhi dan mengekspresikan potensi dan bakatnya yang kerap kali terhambat oleh kondisi masyarakat yang menolaknya. Kondisi ini membuat seseorang menyangkal keberadaan dirinya dan menghambat dirinya sendiri untuk mencapai real self nya. Keadaan semacam ini pula yang dapat menyebabkan seseorang mengalami problem kejiwaan dan ketimpangan perilaku (Minderop, 2011: 48-49).
Sebagai makhluk yang tidak bisa lepas dari rekanan, manusia, dalam mengambil sikap mesti dihadapkan pada liku pertimbangan. Banyak hal atau aspek yang mesti dipertimbangkan, seperti sosial, budaya, hingga agama. Itu merupakan hal dasar yang sering mengukung manusia dalam bertindak. Dalam berperilaku, manusia akan dan selalu dihadapkan pada kenyataan mengenai masyarakat sebagai struktur aturan. Oleh karena itu, pandangan baik menurut diri sendiri kadangkala berseberangan dengan struktur aturan yang berlaku dalam masyarakat. Hal inilah yang membuat manusia seringkali merasa kosong dan menganggap kebebasannya terbatas.
Struktur aturan yang berlaku di masyarakat tentang baik dan buruk, sebetulnya memiliki nilai baik. Bagaimanapun hal itu telah mampu menjaga dan mengubah kepribadian seseorang sehingga mesti terus berada pada koridor yang telah ditetapkan. Pergerakan yang masif dari dunia luar lingkungan masyarakat, seperti tindak kriminalitas, kejahatan seksual, tingkat konsumerisme (konsumtif) tinggi, telah banyak mengganggu ketenangan dan pikiran manusia. Berita tentang semakin banyaknya manusia yang terjerembab ke dalam dunia luar dan asing, telah memberi pukulan telak terhadap struktur aturan masyarakat tersebut. Bagaimana pergerakan dunia luar dengan caranya selalu mampu menembus benteng pertahanan terakhir masyarakat, yakni hukum moral di masyarakat.
Tingkat konsumerisme manusia, semakin menuju pada tingkat kritis. Manusia menurut Piliang (2003:150) di dalam konsumsi yang dilandasi oleh nilai tanda dan citraan ketimbang nilai utilitas, logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat (desire). Bila kebutuhan manusia telah digantikan dengan hasrat, maka hal-hal apapun yang berkaitan dengan diri manusia itu tidak akan pernah habis. Ada rasa candu iri ketika melihat objek di sekitarnya telah memiliki sesuatu hal yang belum pernah dimiliki subjek. Karena anggapan bahwa mengikuti tren adalah berarti terbebas dari konsep masyarakat tradisional yang kuno dan ketinggalan zaman. Seolah menjadi modern adalah benar, sementara sikap yang dipertunjukan seperti itu sebetulnya adalah sikap di luar modern.
Konsumsi dapat dipandang sebagai objektivikasi, yaitu proses eksternalisasi dan internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya. Di sini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek, dan kemudian memberikan pengakuan serta menerima nilai-nilai tersebut. Dari sudut pandang linguistik, konsumsi dapat dipandang sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek oleh para konsumer, dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Dalam hal ini, objek dapat menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakainya (Piliang, 2003:144).
Manusia sebagai makhluk berpikir, dikendalikan oleh keadaan yang akan sangat tidak mungkin untuk dirinya bertahan pada kesendirian. Menolak hidup konsumtif, berarti tertinggal oleh zaman. Menolak konsumtif berarti aktualisasi diri sebagai manusia menjadi tertinggal. Konsep defamiliarisasi yang selama ini dijunjung oleh manusia (pemikir) sebagai suatu pembelotan dari hakikat manusia, kini berbalik menerjang manusia itu sendiri. Manusia yang berdiri pada jalur benar akan dianggap salah karena semakin banyaknya kelompok yang berdiri di garis salah tersebut. Berperilaku standar adalah salah di tengah masyarakat yang mengidamkan sifat konsumerisme seperti sekarang. Konsumerisme dipandang sebagai perilaku menyimpang, tetapi hingga kini masih terus saja dipertahankan. Memang tidak ada aturan baku dalam mencegah perilaku tersebut, tetapi masyarakat, biasanya akan memiliki aturan tersendiri dalam memandang perilaku tersebut.
Perilaku menyimpang yang dilakukan sekelompok manusia ketika menjadi bagian dari dunia luar selalu membawa banyak perubahan pada sistem aturan lama. Hal itu secara perlahan telah menanam nilai-nilai untuk membentuk sebuah budaya baru yang lebih kacau dan gelap. Budaya konsumtif bukan saja menyerang pada perilaku mengonsumsi sesuatu yang masih bisa ditoleransi, tetapi sudah bergerak jauh ke hal yang tidak diinginkan. Dari tradisional beralih ke modern lalu masuk era posmodern.
Meskipun pengatur terbesar (lembaga hukum negara) dalam kehidupan sebuah kelompok telah menyiapkan ruang bagi para penyimpang dengan sangat besar. Tetap saja sikap manusia sebagai makhluk komunal, cepat ingin berubah, dan memiliki hasrat tinggi selalu membawa diri mereka pada lumbung kepalsuan dalam hidup. Menjadi manusia yang terbebas dari ragam aturan adalah keinginan luhur dari manusia masa kini. Bahkan kebebasan dijadikan sebagai cita-cita dan nilai dasar bagi mereka untuk bersegera bergerak dan bertindak menuju apapun. Meski pada akhirnya, aturan tidak pernah bisa dihilangkan dan akan selalu melekat di tempat apapun dan di manapun manusia hidup. Manusia adalah struktur aturan itu sendiri. Mereka tidak akan pernah bisa terbebas dari aturan, walau dalam kematian sekalipun.*

Ciasahan, 2014


Jumat, 18 Juli 2014



Promosi Sastra dan Masyarakat yang Sinetron
oleh : Tawakal M. Iqbal
Sebuah karya sastra bisa membawa kita pada lumbung keniscayaan. Keniscayaan tersebut menjadi awal pengantar kita pada dunia yang berbeda. Penuh keberpikiran, nurani, dan pengasihan. Karya sastra tercipta bukan karena kesemena-menaan para pemikir. Ia hadir begitu saja bersamaan dengan kekacauan yang tengah bergejolak dalam batin manusia. Segala ihwal yang terjadi dalam diri manusia, kemarin, kini, dan esok, biasanya sukar terobati. Tetapi hal demikian, bisa disiasati dengan menempuh obat mujarab, yaitu membaca sastra. Sastra bukanlah tulisan indah yang terangkai dalam catatan-catatan, selebaran di jalan, buku-buku yang dijual di toko, atau status di media sosial. Karya sastra yang sejati, ia, sebenarnya berasal dari gemericik air purbani, mengalir dalam hati manusia, yang bentuknya bisa kita lihat pada sikap manusia sesaat ketika hidup atau menuju kematian.
Seutuhnya, karya sastra tidaklah membikin waktu habis terbuang, justru ada banyak kebaikan yang dipersembahkan, namun sayangnya, hanya sedikit yang meyakini itu. Di era kekinian misalnya, sulit sekali untuk mampu menempatkan karya sastra pada kondisi yang nyaman, dan keberterimaan manusia. Alih-alih mendapatkan itu semua, justru gerakan penolakan muncul, dalam berbagai gejolak hati manusia. Penolakan yang terjadi terhadap karya sastra bukan karena rumit atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mengganggu kedudukan seseorang. Melainkan, karena munculnya anggapan, bila karya sastra identik dengan sikap lebay atau gombal. Dua sikap yang sebenarnya jauh sekali dari sifat sastra yang sebenarnya. Dan karena hal inilah karya sastra menjadi jauh bahkan bias dalam pandangan manusia di era kekinian.
Di era Shakespare misalnya, hubungan sastra dan manusia (masyarakat) bisa dikatakan tidak berjarak. Masyarakat awam menikmati sastra sebagaimana mereka adalah seorang sastrawan. Sekarang, seperti yang diungkap John Barr (Denny, 2012:68) menurutnya, puisi (karya sastra) semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Para penyair asyik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merspon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Dalam bahasanya John Barr mengatakan: “poetry is nearly absent from public life, and poets too often write with only other poets in mind, failling to write for a greater public”.
Tentunya, hal tersebut akan terasa sangat sulit dilakukan di era reformis, seperti sekarang.
Evolusi dan Variasi
Kreativitas tinggi, konsep aduhai, penuh dengan nilai kebersejarahan, serta penggunaan bahasa yang ciamik adalah ciri lain dari karya sastra kekinian. Tetapi, ciri tersebut seakan menemukan kesulitan, untuk mengungkap manusia yang seutuhnya. Manusia sekarang, adalah penyuka aksesbilitas yang serba cepat, dan malas mengeluskan tangannya pada lembaran-lembaran kertas. Dan sayangnya, kasus tersebut semakin saja meningkat. Ini akan menjadikan sastra berada pada kondisi mengkhawatirkan bila karya sastra terus-terusan berfokus pada sebuah buku atau koran. Disinyalir karya sastra tidak akan mampu bertahan dari pengaruh kebebasan media (televisi), laju globalisasi, dan percepatan tekhnologi. Sebab pengaruh tersebut senyatanya mampu membuat karya sastra semakin terpinggirkan, dan alahasil hanya mendiami sisi kedua dari kehidupan manusia.
Seperti yang menjadi bahan omongan di banyak pertemuan, buku ketika dulu adalah primadona bagi kesuksesan sebuah manusia dan zamannya. Sebut saja Tan Malaka, M. Hatta, dan Pramoedya Anantatoer. Kecintaan mereka terhadap buku, menjadikan mereka sosok bersahaja yang intelektuil dan paham ihwal hakikat manusia itu sendiri. Tetapi, akan lebih baik lagi, bila sekarang sebaiknya kita mulai membiasakan diri agar tidak berangan-angan, untuk hidup di zaman mereka. Dua hal paling mustahil dalam kehidupan, kembali ke masa lalu dan masa depan. Manusia kini, berada pada ambang ketidakserasian. Euforia media pertelevisian adalah soal utama dalam masalah ini. Karya sastra sejatinya adalah kendali, untuk mengembalikan hakikat manusia pada keutuhannya. Tetapi bagaimana mengatasi perilaku manusia yang telah gandrung terhadap siaran-siaran televisi? Sulit untuk menjawab hal itu.
Bila karya sastra masih menginginkan bertahan pada bentuk utuhnya (buku). Dibutuhkan karya sastra yang luwes, untuk mengatasi segala soal. Misal, cara paling konkret adalah menyisipkan karya sastra pada tayangan sinema elektronik yang telah berjalan. Tetapi, tentu saja hal itu tidak mudah. Selain posisi dan nilai sastra di masyarakat akan menjadi terlalu biasa. Hal lainnya adalah manusia yang berada di balik kendali media tersebut, terlebih dahulu mesti paham, bahwa kebaikan masa depan manusia, kini ada pada kendalinya. Dan satu hal lainnya yang mesti dipahami, manusia Indonesia adalah manusia latah, bila sekali saja salah, maka ada beribu manusia berjalan menuju kesalahan.
Agaknya tidak berlebihan, bila kita menyebut manusia Indonesia adalah manusia sinetron. Mengapa?
Begini, pandangan dan sikap adalah kedua hal paling pas untuk mencerminkan apa yang bergejolak dalam batin setiap manusia. Maraknya tayangan yang jauh dari kata ‘berkualitas’, menjadikan manusia Indonesia menganut pragmatisme. Memang, adalah hak setiap manusia untuk menempa dirinya pada pilihan-pilihan yang ada. Tetapi, sejatinya, bukanlah itu hakikat dari penciptaan manusia. Manusia dibentuk sedemikian canggih, untuk mampu berpikir ihwal keadaan sekitar. Bukan berpikir tentang kepentingan yang sifatnya pribadi (oportunis). Tentu saja itu adalah hak setiap manusia. Tetapi, menilik pada citra manusia sebagai mahluk sosial, hal tersebut mudah saja ditepis. Oportunis dan hal-hal semacamnya yang kurang baik, bukanlah tujuan dari hakikat manusia sebenarnya.
Dalam sebuah proses yang dialami manusia Indonesia ketika menjalankan tangkup roda kehidupan, dapat dilihat, hampir semua elemen berjalan seadanya. Kosong dan penuh kepengapan. Berputar dan mengarah pada satu tujuan, yakni ketetapan, keterkungkungan, lalu mengarah pada kematian.
Sejatinya, apa yang telah tertanam dalam batin manusia Indonesia adalah keberpasrahan. Laiknya sebuah sinetron yang ratap, bahagia, disakiti, memaafkan, dan menyesal, dan begitu seterusnya. Atau yang lebih ekstrim lagi, membanggakan kekayaan untuk menindas lawan mainnya. Memang, adegan tersebut, kini mudah didapat dalam kehidupan nyata. Di berbagai tempat, dan waktu, sinetron-sinetron telah banyak bergulir, tergelar dengan sendirinya tanpa rekaan.        
Sikap serupa di atas, perlahan, mudah saja sirna atau dapat segera dilupakan. Asalkan dalam sinetron yang tayang, ada terkandung nilai-nilai sastra. Agar menjadikan timbangan nurani manusia berangsur seimbang. Bukan sekedar romantika percintaan si kaya dan miskin saja yang mendiami sudut terpenting pada jiwa manusia. Agaknya sudah terlalu lama, manusia Indonesia terbuai oleh angan-angan sedemikian rupa lewat tayangan tak wajar. Hasilnya? Pergaulan anak remaja yang sukar dikendalikan.
Di era 2009-an, seantero negeri geger sesaat ketika novel Ayat-ayat Cinta difilmkan di layar lebar (bioskop), disusul setelahnya film Perempuan Berkalung Surban, Laskar Pelangi, dan kisah paling menguras nurani Emak Ingin Naik Haji mulai tayang. Di era 2011an, Perahu Kertas, Madre, Negeri 5 Menara, Habibie Ainun, dan Sang Penari satu persatu mulai mengisi layar lebar. Tentunya masih banyak lagi yang muncul. Tetapi, apakah itu semua sudah cukup menyentuh nurani manusia Indonesia? Jawabannya, belum.
Bukan rahasia lagi, kondisi perekonomian bangsa Indonesia lebih banyak didominasi oleh golongan menengah ke bawah, dengan pendapatan rata-rata sesuai atau bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Pilihan menyisihkan sedikit dari hasil pendapatan untuk menonton film di bioskop agaknya bukan sesuatu yang tepat. Ditambah lagi, naiknya harga bahan bakar, memicu naiknya berbagai harga di negara ini. Tentunya, melihat dari kasus tersebut, pilihan menyebarluaskan karya sastra melalui film layar lebar, menjadi langkah kurang bijak. Lalu bagaimana dengan pementasan teater? Ah, tentunya, itu juga belum cukup mampu mengatasi masalah yang tengah dialami. Teater tidak setiap waktu mementaskan lakonnya, juga untuk menyaksikannya, membutuhkan uang yang cukup menguras kantong.
Sebuah evolusi atau variasi penyebarluasan merupakan pencerah ditengah sekelumit kisah mengenai hubungan sastra dan manusia. Evolusi dalam hal variasi promosi sebuah karya  menjadi sangat perlu dan sinetron adalah media paling pas dalam hal ini. Selain mudah dijangkau, sinetron pun mampu tayang setiap hari, juga dalam waktu yang pasti. Meskipun dalam pelaksanaannya akan diketemukan aral melintang, terutama menyoal biaya.[]
2013

Dimuat di Republika, 8 Desember 2013

JALAN PULANG
Oleh : Tawakal M. Iqbal

Malam hampir habis. Hujan perlahan datang membawa sekawanan kepak menuju cahaya lampu taman. Di depan masjid ada sekelompok orang berjalan dengan mata setengah tertutup. Tak tentu arah. Mereka sedang melakukan perjalanan ruang dan waktu. Aku ada dalam barisan itu. Di langit, bulan serupa angin, timbul dan menghilang. Hanya bintang, yang menemaniku minum hingga malam pertengahan. Mungkin juga larut. Aku tak tahu pasti mengenai waktu. Aku hanya berjalan tertatih dan begitu saja melangkah.
Awal mula aku masuk ke dalam dunia hitam, ketika aku ingin mendalami keimananku.  Aku masih muda ketika itu. Dan sulit sekali untuk mulai memahami keinginanku. Rasa ingin tahu tiba-tiba saja muncul selepas lulus dari SMA. Mungkin juga karena tak ada lagi beban, pikirku.
Setiap kali aku mabuk, aku selalu mengalami kejadian yang sama. Tentang percakapan, pertemuan dan apapun itu. Semuanya selalu sama. Tepat pukul 03.00 pagi, saat Yayn hendak pergi ke masjid dan aku pulang ke rumah.
“Baru pulang rupanya kau Min, habis berapa ?”
Aku selalu tersentak bila seseorang menanyakan itu. Aku bukan tukang mabuk. Aku hanya minum. Hanya itu, tidak lebih.
Tololnya lagi, aku selalu pulang lewat masjid bila sesudah minum terlalu banyak.
“Aku tak menghabiskan apapun.” Kataku agak kesal.
“Lalu alasan untuk perutmu yang semakin membesar apa Min?”
“Perutku dari dulu memang besar, apa kau sudah lupa Yan?”
“Oh iya, aku telah lupa akan dirimu itu. Habis yang aku tahu Pamin yang  dulu sih. Dia adalah seorang yang pandai akan banyak hal meskipun tentang bacaan Al Quran ia tak begitu. Dan kau tahu, kau tak pernah begini.”
Di bagian ini aku tahu pasti tentang apa yang akan terjadi.
Aku akan memandang kubah masjid dengan tenang. Anehnya hal ini pasti kulakukan bila terlibat percakapan yang tak diundang.
“Makanya aku jadi pangling melihat kau ada disini, apa kau mau sholat juga?”
Aku seperti terlilit tali waktu. Di mana hanya aku dan Yayan yang hampir pasti terlibat percakapan tentang ini. Bahkan aku hapal betul apa yang akan kami katakan selanjutnya. Di bagian ini Yayan pasti akan menyindir tentang kebiasaanku.
“Eh sebentar, hampir saja aku lupa. Mana mungkin Tuhan mengijinkan kau untuk sholat, kau kan seorang pemabuk.”
Aku bilang juga apa, aku telah hapal betul dialog percakapan ini.
“Kita sama-sama mahluknya, Yan.”
“Apa kau bilang, mana mungkin Tuhan mau menyamakan derjat kita. Aku tukang sholat dan engkau tukang mabuk, ma-buk!” Suaranya terdengar sedikit sengaja dibesarkan.
“Tapi.”
“Tak ada tapi, tempatmu di sana Min! Di tempat gelap dengan cahaya yang warna-warni dan berkelipan  itu.  Masjid ini adalah tempatku. Tempat orang-orang taat, yang takut akan siksa akhirat.”
Aku diam. Kepalaku terasa berat waktu itu. Aku tundukan kepala, pandanganku kunang-kunang. Rasanya ingin segera kutaruh di atas bantal empuk dari kapuk randu terbaik.
Angin subuh bergerak begitu pelan, bagai selimut yang terbentang di ujung musim penghujan.
“Sekarang kau mengerti Min?”
“Mungkin.” Aku berjalan seperti anjing penyakitan, dengan tiga kaki busuknya mencoba menaiki anak tangga. Aku menuju pintu yang terang itu. Menuju masjid tempatku dulu menumpang tidur, bila sehabis sekolah pulang terlalu larut.
“Eeee, mau kemana kau Min. Apa kau tidak dengar perkataanku tadi? Ini bukan tempatmu, tuhanmu adalah bir dan tempatnya bukan di sini!”  Ia mendorongku keluar dari Masjid. Gerakan Yayan dalam berbagai kejadian masih seperti itu. Kuat dan menjengkelkan.
“Ijinkan aku bertemu dengan tuhanmu sekali saja, aku mohon.” Aku memaksa masuk, dan terus berjalan. Sampailah aku pada ruangan yang tenang. Tempat Imam memimpin Shafnya dalam sholat. Yayan marah besar, disingkilkan sarung barunya lalu mengejar Aku.
“Hei , apa kau tidak mengerti juga? Ini bukan tempatmu dasar orang sesat. Ini tempat para penghuni surga. Kau telah membuat aku malu pada tuhanku, pergi!”
“Kau bilang aku sesat, seolah kau paling tahu tentang agama. Apakah kau tahu agama hah?”
Aku memang tidak taat, tapi aku tidak sesat. Aku hanya ingin menimati hidup, apa itu salah? Kehidupan bisa saja tidak akan berlangsung tiap waktu. Makanya aku agak sedikit melupakan agama. Tapi kehidupan tidak akan berarti tanpa agama. Aku selalu risau memikirkan hal ini.
“Apa  kau bercanda?”
“Tidak!” Aku mulai menatap matanya tajam.
“Hei orang sesat, dengar ini!”
Di bagian ini aku tidak mendengarkan dia bicara. Sudah cukup ia mengataiku dengan sebutan sesat. Akhirnya dengan sedikit terpaksa aku lekas berjalan mendekat ke tumpukan Al Quran.
“Hei apa kau dengar aku, hah?”
Memilih diam dari orang ini bukan pilihan yang baik. Di bagian ini dia merasa tinggi dengan segala yang dikethuinya soal agama.
“Aku ini orang beriman yang tahu akan agamaku sendiri. Agamaku bukan agama turunan. Karena aku tahu semua tentang agama maka aku yakin jika aku adalah benar!”
“Kalau begitu kau tidak tahu agama.” Aku meradang.
Di kejauhan Al Quran terlihat begitu mesra dengan cahaya lampu di kejuhan. Ia begitu lembut.
“Apa maksudmu berbicara seperti itu orang sesat. Kau meremehkan pengetahuanku. Aku tak akan  disini kalau tidak paham.” Yayan membenarkan pecinya yang sering kali turun karna sudah sempit. Peci itu tak pernah diganti sejak ia pulang dari haji.
“Aku rasa kau salah mengartikan agama. Dia bukan soal pengetahuan tetapi keyakinan!” Pandanganku masih tertuju pada Al Quran itu. Akhirnya aku mengambil salah satunya dari tumpukan yang tak keruan.
“Kau tahu apa Min, mencoba mengajari…  eeee lepaskan tangan kotormu dari benda suci itu. Ayo lepaskan!”
Dia merebut benda itu dari tanganku.
“Apa itu punyamu?”
“Bukan, ini kepunyaan orang-orang beriman.”
“Berarti itu punyaku juga.” Aku merbut kembali. Seperti kisah sebelumnya aku kemudian membuka beberapa halaman, lalu memandangnya.
“Sekali lagi aku katakan, kau orang sesat dan lepaskan benda suci itu!”
“Ini akan menjadi suci bila kita baca.”
“Ya kau benar, tapi bukan orang sepertimu yang diharapkan oleh tuhanku. Kau tak pernah bisa membaca benda itu,  tanganmu hanya pantas memgang botol-botol murahan!”
“Kau sudah jadi tuhan rupanya.”
“Apa kau bilang, dasar baji….. ya tuhan ampunilah sahabatkuku yang satu ini. Dia mengatakan aku sama sepertimu. Sungguh aku tak pernah berharap  punya kawan seperti ini, maafkan dia .” Yayan memandang kelangit-langit dengan wajah ketakutan. “Kau, jangan pernah bilang kalau aku adalah tuhan.”
“Tapi….. sudahlah, tak ada gunannya aku berbicara denganmu. Aku akan melihat ini saja. Sepertinya ini lebih berarti.” Aku agak sedikit meledek Yayan. Al Quran itu kupegang dengan dua jari tangan kiri.
“Dasar tak punya otak, pantang mengangkat benda itu dengan tangan kiri.”
“Oh, maaf.”
“Tuhan tak akan memaafkanmu!”
“Tahu dari mana?”
“Pengetahuanku lebih tinggi. Aku sudah berhaji. Aku lebih dari kamu dalam hal apapun.”
“Kalau begitu ajari aku agar sama denganmu.”
“Percuma!”
“Tak ada yang percuma, ayo!” Aku memainkan Al Quran seperti memainkan kertas buram. Itu sengaja kumainkan untuk memancing perhatian dia.
“Letakan benda itu, atau aku yang akan….”
“Benda ini terlihat konyol bila di tumpuk begitu!”
“Akan lebih hancur jika ada di tanganmu.”
“Ini lebih baik daripada dilumuri debu, dan dibiarkan menumpuk seperti bungkusan ikan. Aku akan membawanya untuk kuselami lebih dalam lagi.”
“Tak ada yang boleh membawanya. Selain orang yang sudah berhaji!”
“Lalu untuk apa?”
“Itu hanya untuk suci sepertiku.”
“Kalau begitu aku akan menyucikan diri dengan membacanya. Aku  janji akan mempelajarinya dan menjadikan diriku dekat dengan tuhan dan…”
“Tuhan tak akan sudi dekat denganmu!”
Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku seperti orang paling kotor yang pernah ada.
“Dia dekat dengan siapa saja yang mau bertobat.  Termasuk kita!” Aku menyanggah kesombongannya.
“Haha, aku tiap waktu menghadapnya. Aku tak perlu tak usah dibawa-bawa!
Ada tangan yang lebih pantas menyentuh benda ini daripada kau.” Dia merebut Al Quran dari tanganku. Beberapa halaman yang kupegang sobek. Aku mendapatkan sobekan itu.
“Ah dasar bodoh! Kitab ini jadi sobek gara-gara kamu.”
Aku tak tahu apakah Yayan benar-benar menyesali apa yang telah terjadi atau memang dia hanya ingin terlihat lebih benar.
“Lalu untukku, kapan?” Aku membentaknya kali ini. “Apakah mesti mati dahulu untuk bisa menyentuh dan membacanya seperti kebanyakaan orang? Tuhan maha pengasih, ia mengasihi siapa saja yang mau…” Aku meninggalkan tempat itu. Melangkah tepat di depan Yayan yang sedang tertunduk meratapi kecerobohannya.
“Kau tak pantas untuk ini Min, pergilah keasalmu!”
***
Matahari muncul sedanya. Angin meninggalkan debu dikaca-kaca rumah. Burung  berkicauan dengan nada sumbang. Masjid ini selalu lembab setiap kali aku minum sampai mabuk. Oleh air mata, ludah, arak, dan kesombongan.
“Ya, aku telah salah jalan.” Pikirku. Aku tak berani lagi menoleh ke arah bangunan itu. Dengan kepala tertunduk, aku mulai pergi. Tangan kiriku menjambak- menjambak rambut yang di serang gatal entah dari mana. “Bis mi la… ah apa ya aku tak bisa membacanya.” Sepanjang jalan pulang aku terus membaca sobekan itu.
Di kejauhan, Yayan masih mengutuki dirinya sendiri. Bebarapa kata yang tak seharusnya keluarpun ia paksakan terlontar. Ia begitu kasihan.
Kejadian ini pasti akan terjadi lagi esok di jam dan waktu yang sama. Itupun bila aku mabuk.*

2013
Diberdayakan oleh Blogger.