(KOMPAS, 15/3/2015)
TEPI SHIRE
Musim
gugur tiba. Saatnya bekerja di luar ruang. Kantor-kantor di tempatku bekerja
memiliki kebiasaan aneh, boleh membawa pekerjaan ke manapun yang kita suka saat
musim gugur. Pekerja di sini diberikan keleluasaan untuk menikmati musim gugur
selama tiga bulan penuh. Tetapi tetap saja kerjaan yang diberikan luar biasa
banyak. Aku biasanya memilih sungai Shire untuk menghabiskan musim gugur
bersama setumpuk pekerjaan yang mesti segera diselesaikan. Di sungai ini
terdapat taman sepanjang kiri-kanan jalur sungai. Pada saatnya nanti di puncak
musim gugur, dedaunannya akan jatuh beterbangan langsung ke muka sungai. Selain
itu, di sungai ini jarang sekali ada anak-anak. Orang tua melarang anaknya
untuk berlibur ke tempat ini. Sebab sebagian dari mereka percaya bahwa Shire
adalah tempat mistis yang selalu meminta korban. Aku sendiri tidak percaya
terhadap hal itu. Ini adalah musim gugur yang kedelapan bagiku, dan hingga kini
aku masih ada. Jadi lupakan soal Shire yang sering memakan korban.
Angin
berembus kencang sekali, mengibaskan mantelku yang beberapa kancingnya sudah
rusak. Sungai mengalir begitu deras dan sesekali menciptakan gelombang pengusir
burung-burung dari tubuhnya. Di seberang tempatku duduk, penjaga kebersihan
terlihat sibuk menyapu dedaunan di taman. Tubuhnya bungkuk. Kulitnya hitam.
Tampaknya ia bukan berasal dari tanah ini.
Aku
menyukai tempat ini karena di antara yang lain, Shire adalah sungai panjang
yang menyimpan banyak sejarah. Meskipun umumnya tentang kekejaman perang. Di
sungai ini ribuan manusia korban perang pernah dihanyutkan. Kala itu bau amis
darah, air merah, dan kicauan burung bangkai menjadi sebuah fenomena yang
biasa. Raja Shire V pernah digantung di bawah jembatan Sulera oleh bangsa
Sinewood. Sisa-sisa perang masih dapat kita temukan di museum Shirewar yang
terletak di hulu sungai. Bahkan beberapa tahun lalu ada sepasang pengantin yang
sedang berfoto mesra, dengan sangat tiba-tiba terbunuh. Mereka tanpa sengaja
menginjak ranjau darat yang masih tertanam dekat pohon maple, di km 8. Akibat
peristiwa itu Shire ditutup untuk sementara waktu.
“Untung
saja bukan musim gugur”, pikirku. Aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan bila
peristiwa itu terjadi di musim gugur. Sejak peristiwa itu, Shire menjadi sangat
sepi. Tetapi entah mengapa aku merasa jatuh cinta dengan sungai ini. Aku dan
sejarah tentang perang seolah memiliki ikatan batin kuat. Meskipun aku belum
pernah merasakan bagaimana rasanya hidup di zaman perang.
Perang
memang selalu menyisakan kepedihan. Meski begitu, memenangkan perang selalu
menjadi impian banyak orang. Kemenangan dirasa lebih nikmat. Meski sesudahnya,
kepedihan tengah menanti. Sebab kepedihan setelah perang tidak akan pernah
dikenang meski tengah dirasakan. Tetapi kemenangan, selamanya akan terus
dikenang. Tiba-tiba saja ingatan mengenai pernyataan yang tertera dalam buku
sejarah yang pernah kubaca itu muncul. Tak satupun orang di Woodyshire
memungkiri itu. Meskipun kini kondisi mereka sedang dalam keadaan pedih.
Kenangan terhadap kemenangan peranglah yang mampu membuat masyarakat Woodyshire
tetap kuat.
Kursi
kegemaranku adalah nomor C38, tempat ini berada di taman kanan jalur sungai.
Sangat strategis aku pikir. Dari tempat ini, aku bisa melihat sekitar tanpa
harus mendorong-dorongkan kepala ke depan. Atau melakukan kegiatan lain yang
membuang banyak stamina. Kursi ini sangat nyaman. Aku kira seperti itu.
Ada
banyak pekerjaan yang mesti dikerjakan. Aku memulainya dari akuntabilia.
“Kehidupan
memang memuakkan!”
Tiba-tiba
saja tukang sapu itu berteriak pada pohon di depannya. Sungai kali ini sangat
sepi. Sebab masih terlalu pagi tampaknya untuk orang-orang datang kemari hanya
sekadar mengobrol dan mengambil gambar. Biasanya siang menjelang sore sungai
ini mulai ramai. Di sungai ini jelas hanya ada kami berdua. Aku dan tukang sapu
itu.
Aku
memilih untuk tidak peduli terhadap tingkah tukang sapu itu. Di tanah ini, aku
diajarkan untuk mulai tidak peduli terhadap sesuatu hal yang bisa membuat rugi.
Dalam posisi ini aku akan dirugikan bila aku memedulikannya. Pekerjaanku akan
abai dan dia akan merasa menang, sebab telah mampu menarik perhatian. “Rugi!”
“Kehidupan
itu memuakkan!”
Ia
berteriak lagi. Kali ini lebih keras. Sapu di tangannya dipatahkan kemudian
dilemparkan ke sungai. Tangannya terlihat dikepal. Aku mencoba untuk tidak
memerhatikan. Tapi tetap saja rasa penasaran selalu mendorongku untuk melirik
ke arahnya. “Sial!” kataku dalam hati.
Aku
mulai terganggu dengan tingkahnya yang aneh. Kali ini pohon maple dipukul-pukul
menggunakan tangannya hingga beberapa rantingnya patah. Ia terlihat tidak
merasakan sakit, meskipun tangannya mulai berdarah.
Angin
berembus kencang menerpa kami. Ia agak sedikit goyah. Tiba-tiba topi yang
dikenakannya terbang dan mendarat di muka sungai. Daun-daun berterbangan ke
arahku. Kepala orang itu tampak seperti terluka. Banyak bekas jahitan di
kepalanya, mirip gumpalan darah yang membusuk.
“Tanah
ini memuakkan!”
Sekali
lagi ia berteriak. Dua kali, tiga kali dan berkali-kali.
Aku
jelas sekali sangat terganggu dengan itu. Aku mulai menenangkan diri. Tidak
mungkin mengerjakan kalkulasi yang amat rumit dalam kondisi seperti ini. Aku
buka bekal yang dibawa dari rumah. Roti, sayur, saus, mayones dan daging sapi.
Bahan-bahan itu aku susun menjadi semacam hamburger.
Orang
itu melompat-lompat menabrakan diri ke pohon. Kemudian ia menarik-narik
pakaiannya hingga sobek. Aku tak mengerti mengapa ia melakukan hal itu. Ia
teriakan kata itu lagi. Rasanya aku ingin mendekat dan menanyakan banyak hal,
tapi hatiku menginginkan agar aku tidak peduli. Lagi untuk mendekat ke sana
rasanya tidak mungkin. Kami dipisahkan sungai. Untuk menyeberang ke tempat
tukang sapu itu aku mesti berjalan ke hulu kemudian menyebrang menggunakan
jembatan. Tetapi untuk sampai ke seberang memerlukan 1 jam perjalanan. Biasanya
pengunjung Shire akan menggunakan sampan untuk menyeberang. Tetapi ini Jumat,
tukang sampan tidak bekerja di hari Jumat.
“Aku
muak dengan ini!”
Pohon
maple itu kembali dipukulnya. Bahkan kali ini menggunakan kepala. Aku tak
mungkin melompat ke sungai itu dan menolong atau setidaknya menghentikan
tingkahnya. Tapi pekerjaanku menumpuk dan hari ini mesti kuselesaikan. Aku
tidak mungkin bekerja dengan pakaian basah. Sebetulnya aku bisa saja telanjang
dan langsung menceburkan diri ke sungai, tapi apa kata orang nanti. Kemaluanku
akan terlihat dan aku tidak ingin hal itu sampai terjadi. Aku memilih mendengar
musik, barangkali dengan begitu aku jadi tidak akan peduli lagi dengan
tingkahnya.
“Semuanya
keparat!”
Di
benturan yang entah ke berapa, dahinya sobek. Pipinya pecah. Giginya remuk.
Dalam sekejap wajahnya dipenuhi darah. Aku mulai tak nyaman duduk. “Ini sangat
keterlaluan!”
Aku
tidak diajarkan peduli di tanah ini, tetapi aku akan sangat bersalah bila tidak
melakukan tindakan. Aku mulai berdiri, tapi angka-angka ini akhirnya membawaku
kembali. Delapan tahun tampaknya sudah cukup berhasil mengubah karakter
seseorang sepertiku.
Kadang
di tempat tinggal, aku merasa tidak mengenal siapa tetanggaku karena satu dan
lain hal. Kehidupan di sini begitu soliter.
Roti
yang sudah dibuat sama sekali tidak kusentuh. Aku mulai mual melihat kondisi
orang di depanku yang begitu mengerikan. Pekerjaanku akhirnya kumasukan ke
dalam tas. Aku memilih untuk tidak melakukan apa-apa, dengan begini tidak ada
dari kami yang dirugikan ataupun sebaliknya.
“Mante!”
“Kekak!”
“Rangpe!”
“Namjaha!”
“Pise!”
“Kitsa!”
“Nuhbu!”
Aku
tidak mengerti apa yang dikatakannya. Lalu tersadar dengan kondisi Shire yang
maha luas. Kemudian aku lihat sekitar, khawatir ia sedang memanggil-manggil
temannya. Suaranya tidak terdengar jelas. Rasa sakit membuat suaranya menjadi
bergetar.
Tiba-tiba
saja bayanganku terbang jauh ke kampung, di Priangan sana. Orang itu seumur
kakekku. Kakek pernah bercerita padaku tentang dampak yang dihadirkan oleh
perang.
“Mereka yang selamat dari perang, akan
kembali, namun menjadi asing.”
Ketika
muda ia pernah mengalami kenangan pahit, bersama teman lainnya menjadi buronan
perang. Teman-temannya tertangkap oleh musuh. Kata kakek hanya ia yang selamat.
“Hingga
kini tak seorangpun yang masih hidup. Semua dibunuh dengan cara yang
mengerikan. Ada yang dikirim ke Roma untuk dijadikan santapan singa di
Colosseum. Ada yang dikirim ke hutan Papua untuk diasingkan. Kemudian banyak
dari mereka tidak tahan dan memilih menyantap dirinya sendiri.” Kakek bercerita
dengan sangat serius.
Aku
selalu bergidik bila kakek sudah mulai menceritakan itu. Meskipun kakek
selamat, tapi ia tidak dalam kondsi yang sempurna. Tangan kanannya hilang. Ini
dilakukannya sebagai upaya untuk melarikan diri dari musuh. Tangan kakek ketika
itu diikat menggunakan rotan. Ia memotong tangannya sendiri dengan golok. Bila
tidak begitu, kakek tidak akan pernah bisa lepas.
Kakek
bilang, “butuh pengorbanan untuk terlepas dari beban yang diderita.”
Cerita
lainnya yang paling aku benci dari kakek adalah ketika bercerita tentang
penyiksaan yang dilakukan musuh pada temannya di sungai Cidurian. Wajah
temannya digosok-gosokkan ke pohon berenuk hingga kulitnya terkelupas dan
dipenuhi darah. Setelah wajahnya benar-benar merah, musuh akan menceburkannya
ke kali hingga darahnya hilang. Kemudian setelah itu digosokkan kembali wajah
temannya ke pohon. Tidak tahu apakah temannya itu tewas atau selamat. Kakek
sangat tersiksa mengenang itu.
“Bangsat!”
Orang
itu beteriak dengan keras. Aku tidak tahu ia mengumpat siapa. Tapi tatapannya
tertuju padaku. Aku gemetar. Sesekali aku membetulkan earphone dan mencoba bersikap tenang. Aku lupakan sejenak
tingkahnya dan mencoba mengamati kupu-kupu yang hinggap di bunga dekat tempatku
duduk. Semoga saja ia menganggap kalau aku tidak tahu tentang apa yang sedang
dilakukannya sedari tadi.
Aku
perhatikan kupu-kupu itu secara mendalam. “Sial!” Kupu-kupu itu terbang entah
ke mana. Aku bergegas merogoh kembali
berkas-berkas pekerjaanku di dalam tas. Kubuka satu demi satu. Tapi benar-benar
sial. Orang itu terus menerus menatapku. Aku dalam keadaan tertekan. Kakiku
bergetar, keringat mulai mengalir. Ini kali pertama aku duduk di sungai Shire
saat musim gugur dan tubuhku tak henti-hentinya mengalirkan keringat. Mata
orang itu begitu tajam. Wajahnya penuh darah, hitam, bercampur serat-serat
pohon.
“Apa
yang sebetulnya ia inginkan?”
Sesekali
aku melirik ke arahnya. Ia terlihat mundur beberapa langkah.
“Gawat,
ia sedang mengambil ancang-ancang untuk berlari.”
Aku
hendak pergi, tetapi kaki begitu sulit kugerakan. Orang itu berlari dan
menceburkan diri.
“Mengapa?”
Darah
dari kepalaku mulai turun. Ia biarkan tubuhnya hanyut, lalu tiba-tiba kembali
lagi naik ke daratan, menatapku kembali dengan acungan telunjuk mengarah lurus
kepadaku. Kembali nama-nama aneh mulai disebut-sebutkan. Ia lari dengan kencang
lalu melompat ke sungai lagi. Kali ini ia biarkan tubuhnya hanyut mengikuti sungai,
tetapi tatapan tajamnya tidak lepas tertuju padaku.
Angin
mulai berhenti berembus. Pohon maple di seberang itu penuh darah. Langit mulai
meniru warna darahnya. Aku mulai mengemasi barang-barangku, untuk bersegera
pulang. Tapi kakiku sulit untuk kupakai berjalan.
2014